Lihat ke Halaman Asli

Putusan Artidjo Alkostar Mengenai Pasal 13 dan Pasal 5 Terhadap Perkara Walikota Semarang Soemarmo Hadi Saputro

Diperbarui: 4 April 2017   16:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1382752866439241654

[caption id="attachment_297157" align="alignleft" width="518" caption="(foto/Antara)"][/caption] Latar Belakang

VIVAnews - Jumat,01 Maret 2013, Mahkamah Agung memperberat hukuman Walikota Semarang non aktif Soemarmo Hadi Saputro dari 1,5 tahun penjara menjadi tiga tahun penjara, serta denda Rp50 juta subsider dua bulan penjara. Soemarmo terbukti melakukan tindak pidana korupsi menyuap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kota Semarang terkait Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2012.

Artidjo mengatakan alasan dikabulkannya kasasi jaksa karena majelis hakim tingkat pertama  salah menerapkan hukum. Pada tingkat pertama, Soemarmo dijerat dengan pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini tidak tepat karena pasal tersebut diberlakukan jika yang disuap adalah pegawai negeri sipil (PNS). Padahal, yang diberi uang oleh Soemarmo adalah anggota DPRD Kota Semarang yang berstatus penyelenggara negara.

"Pengadilan Tipikor salah menerapkan hukum karena perbuatan terdakwa lebih sesuai jika dijerat dengan pasal 5 UU Pemberantasan Tipikor, bukan pasal 13," jelas dia.

ANALISA JURIDIS

Dapat disimpulkan bahwa yang menjadi pertimbangan majelis hakim agung yang terdiri dari: Artidjo Alkostar (Ketua Majelis Hakim), Askin dan MS Lumme (Anggota Majelis Hakim) adalah bunyi pasal 13 mengenai “kepada Pegawai Negeri”. Untuk itu, perlu dilihat secara lengkap bunyi pasal 13 UU No 31 Tahun 1999:

“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 150 juta”

Dalam putusan Majelis Perkara yang diketuai oleh Artidjo Alkostar cs, disebutkan bahwa perkara ini lebih tepat memakai Pasal 5 UU No 20 Tahun 2001 yang berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50 juta dan paling banyak Rp. 250 juta, setiap orang yang :   a).memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya. b).memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Terlihat dengan jelas bahwa pada pasal 13, UU No 31 tahun 1999 hanya ada kata “kepada pegawai negeri” sedangkan pada pasal 5 ayat 1a dan ayat 1b UU 20 tahun 2001 terdapat kata “kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”. Melihat sepintas selalu, dapat disimpulkan bahwa pada pasal 13, UU No 31 tahun 1999 yang dituju hanyalah “kepada pegawai negeri” dan bukan “penyelenggara negara”. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kehadiran UU No 20 Tahun 2001, telah mengurangi jangkauan delik Pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 yaitu dari “kepada penyelenggara negara atau pegawai negeri” menjadi “kepada pegawai negeri” saja. Hal ini berakibat jika seseorang menyuap penyelenggara negara dan deliknya cocok dengan pasal 13 UU No 31 Tahun 1999 maka penyuap itu harus lepas dari tuntutan hukum karena deliknya tidak diatur dalam UU Tipikor.

Apakah Pasal 13 Hanya Untuk Pegawai Negeri

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline