Tik tik tik
Suara jeruji sepeda berbunyi ditengah malam. Suaranya memecah keheningan malam itu. Siapa bilang itu suara sepeda? Batinku dalam hati. Itu pasti suara arloji seseorang mengendap-endap mencari tahu keberadaanku.
Aku terus berada dalam selimut tebal. Mengerudungiku rapat-rapat dan menahan nafasku dalam diam hening malam itu. Mataku tak dapat terpejam. Hanya diam membisu dengan ketakutan.
Bruk bruk bruk
Itu pasti suara kuli bangunan gudang sebelah yang sedang kerja lembur. Siapa bilang? Itu suara tentara yang sedang berbaris hendak menyerbugudang jerami ini.
Peluhku makin deras.Aku menarik selimutku semakin rapat. Memeluklututku sendiri dan berdoa. Semoga mereka tak tahu aku berada dibalik tumpukan jerami terbungkus selimut yang kusam dan penuh kutu busuk.
Teng teng desing. Teng teng desing.bruk
Aku mendengar suara panci dipukul-pukul. Bukan panci, itu besi-besiyang dipukul-pukul. Tapibuat apa tentara-tentara itu membawa panci ? itu pasti besi untuk memukul atau itu pasti senjata. Itu pasti senapan. Desingan itu peluru yang dimuntahkan dari selongsongnya.
Keringatku makin deras, dan hawa panas dalam ruangan ini membuatku mati rasa.Aku tidak tahu harus lari kemana lagi. Semua tempat ini tentunya sudah terkepung. Hanya aku sendiri yang terkepung dalam gudang jerami tua ini. semua temanku yang membelot pasti sudah mati dibunuh oleh para tentara tentara itu.
Terkutuklah tentara-tentaraini. mungkin ini adalah hari akhirku didunia. Sudah kubayangkan wajah emakku didesa yang pasti sedang mencemaskanku dan menunggu kedatanganku. Ayahku yang pasti akan sangat bangga melihat anak lelaki satu-satunya yang berhasil menjadi seorang pejuang kemerdekaan yang mungkin akan dijodohkannya dengan anakperawan kepala desa sebelah yang cantik rupawan. Aku hanya mengingatnya dalam kebekuan.Dalamabstraksisemu yang mungkin tak aku dapatkan. Karena aku akan mati hari ini.
Bruk bruk bruk srek srek srek
Kudengar langkah berat dari sepatu boot beberapa orang tentara lewat didepanku. Peluhku lagi-lagi membasahi dahiku. Aku berdoa semoga saja mereka tak melihatku. Tak mengenali gundukan manusia yang berselimut kain kumal bau nan penuh kutu ini sebagai sosok manusia. Semoga mereka tak melihatku.
“disini tak ada… tak ada jejaknya” seru suara seseorang dengan lantang tak jauh dari tempatku meringkuk.
Jantungku berdegup tak tentu arah. Mengira-ngira jantungku sudah jatuh keperut lalu diaduk dalam usus dan diterpa asam-asam lambung, yang membuat perutku mules tak kepalang. Tanganku rasanya kebas menahan selimut agar tetap menutupi seluruh tubuh aku melungker bak anak ayam dalam cangkang telur.
“mereka dengar pria itu lari kebelakang..” teriaksuara disisi lain.“kita kejarsaja.”
Bruk bruk bruk
Suara langkah kaki itu menjauh dari tempatku bersembunyi.tinggal kesunyian lagi.
Aku belum berani bergerak. Masih bisu. Menahan diri untuk tidak merasa lega dengan cepat siapa tahu mereka masih kembali. Siapa tahu mereka mengobrak abik lagi jeram-jerami ini lalu menyergapku dari belakang tumpukan jerami , atau malah menembakku ditempat? Bayangan-bayangan mengerikan itu berkelebatan didalam pikiranku.
Sudah hampir satu jam aku menunggu. Suara mereka hampir tak terdengar. Akumelorot dari tempatku duduk. Kumuntahkan nafas-nafasku. Suaranya memburu. Kuusap wajahku, Darah hangat sudah terasa mengalir dalam pembuluh darahku. Mataku pedih, menahan tangis senang.Semoga saja mereka pergi berlalu meninggalkan gudang ini. ingin rasanya aku segera lari dan pergi meninggalkan gudang ini, melapor pada komandanku bahwa aku berhasil lolos dari tentara-tentara ini. tapi kakiku ternyata tak bisa bergerak. Sudah kelu, sudah kaku. Kesemutan. Sialan. Mana bisa aku berlari dengan kaki seperti ini. aku berusaha berdiri.Tetap saja, kakiku tak mau bergerak. Berat seperti timah.
Kuselonjorkan kedua kakiku, kubuka sedikit selimut yang menutup tubuhku. Rasa gatal menjalari tubuhku. Kutu-kutu busuk itu menggigit kulitku, meninggalkan bintul-bintul merah pada daging tubuh dari sela baju seragam tentaraku yang compang camping. Kubersihkan tubuhku dai kutu-kutu busuk itu. Hanya saja ada sesuatu yang mengganggu pandanganku.
“disini kau rupanya?” suara seorang pria tua memanggul potongan kayu panjangdi bahunya berdiri didepanku.
Akuberdiri membatu melihat pria itu. Sedikit gemetaran kuberanikan diriku berbicara
“Ya, Saya tidak takut. demi kemerdekaaan, saya rela ditangkap. Saya tahu kalian membunuh teman-teman saya dikamp. . membunuh seluruh keluarga saya.saya bongkar kekejian kalian.”
Pria tua itu menurunkan potongan kayu panjang yang dipanggulnya. Ia Nampak tua sekali. Usianya jauh diatasku. Kerut-kerutdikulit tangan dan kakinya Nampak jelas. Kurus dan berambut putih, hampir botak. Matanya sayu menatapku dengan iba. Lalu berteriak, memanggil sebuah nama.
“Paidi..paidi, ia ada disini…” serunya tenang pada seseorang disisi lain ruangan.
“jangan panggil teman-teman anda. Mari kita bertarung satu lawan satu. Saya tidak punya apa-apa. Tapi, saya berani bertarung. Berani bertarung untuk kemerdekaan bangsa saya, untuk kekejian birokrasi system yang bobrok dan kemelaratan rakyat karena kaum borjuis seperti anda!”
Beberapa saat kemudian, seseorang yang bernama paidi itu datang. Bersama kawanan lainnya, mereka berseragam putih-putih mengenakan setelan lengkap. Membawa borgol dan beberapa polisi ada dibelakang mereka.
“jangan dekat-dekat saya. Atau saya akan melawan.” Kata saya defensive“lawan saja saya. Lawan saja “
“kami tidak akan menyakiti anda, kalau anda ikut kami..” kata orang bernama paidi diplomatis.
“buat apa saya ikut anda. Saya tidak mau. Saya ingin kemerdekaan. Kebebasan.” Kataku tetap berteriak.
“dunia ini sudah tidak aman bagi anda, pak. Kebebasan anda ada ditangan kami. Kami memaksa.” Kata paidi sambil mengarahkan tangannya kepada dua aparat dibelakangnya,
Kukepalkan tanganku, Berusaha meninju pria bertubuh tambun dengan kumis bak pak raden dalam tokoh unyil. Meleset. kuayun tangan berikutnya pun meleset. Lalu kutonjokkan tinjuku pada perutnya, sayangnya pria itu lebih gesit dari aku yang kerempeng. Lalu tanganku diborgolnya.
Aku memberontak melepaskan diri, tapi pria itu membuatku tak bisa berkutik. Seseorang bernama paidi itu mendekatiku, lalu membuatku tertidur dengan biusnya. Aku terjatuh dalam gelap. Tak sadarkan diri. namun samar aku masih mendengar sebuah percakapan antar mereka.
“kasihan, ia mantan veteran perang. Suka sekali bersembunyi digudang pembuatan tembikar ini. ia selalu menyangka dirinya sedang bergerilya disini. Kadang aku menemukannya duduk berselimut karung. Hanya duduk diam berlama-lama dalam tumpukan kain yang ia anggap jerami. “ kata pria tua tadi
“yah, gimana lagi,pak. Semua keluarganya sudah dibunuh dimasa perang belanda dulu. Hanya keponakannya yang ia punya. kasihan.” Kata paidi. “terimakasih atas bantuannya”
‘jaga dia baik-baik. Semoga ia bisa sembuh” ujar pria tua itu sambil kembali mengangkut kayu untuk membakar tembikar. Menghilang dibalik pintu keluar gudang,.
Percakapan itu percakapan terakhir yang aku ingat dari dalam gudang tua itu. lalu aku dibawa menuju pusat rehabilitasi. SebuahRumah Sakit Jiwa. Mereka pikir aku sudah hilang kewarasan.
Cerpen ini pernah dimuat di harian lokal : Ponorogo Pos tahun 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H