Lihat ke Halaman Asli

Frustrasi Organisasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13729084541211054097

[caption id="attachment_264601" align="aligncenter" width="300" caption="http://office.microsoft.com/en-us/images/results.aspx?qu=frustration&ex=2#ai:MP900431223|"][/caption]

Manusia sebagai salah satu makhluk Tuhan memang suatu perwujudan yang kompleks. Dengan potensi-potensi yang ia miliki, tentu saja membuat setiap individu pun memiliki kekhasan tersendiri. Bahkan ketika menghadapi suatu masalah. Respon yang dimiliki seseorang berbeda-beda tergantung dari beberapa hal, yaitu, pengalaman yang dia miliki, pengetahuan/innformasi yang ia ketahui serta persepsi subjekif yang seringkali mendominasi kepribadian.

Ketika seseorang menghadapi suatu masalah, pasti memiliki kecenderungan perilaku frustasi. Ini merupakan hal yang wajar sebab struktur kepribadian seseorang yang menurut teori Freud dibagi menjadi 3, yaitu Id, ego dan superego selalu membutuhkan keseimbangan agar menjadi pribadi yang sehat. Artinya tak ada yang mendominasi lebih di sini.

Frustasi yang dialami manusia bisa menghasilkan frustasi personal dan impersonal. Frustasi personal yaitu frustasi yang disebabkan pemikiran-pemikiran negatif seorang individu itu sendiri tanpa ada campur tangan orang lain. Sementara frustasi impersonal lebih disebabkan karena adanya pengaruh lingkungan sekitar yang memberi penilaian negatif terhadap diri seseorang.

Kaitannya dengan frustasi, daya tahan seseorang terhadap frustasi juga menentukan seberapa besar tingkat kedewasaan seseorang. Daya tahan terhadap frustasi tidak boleh terlalu tinggi maupun terlalu rendah. Sebab daya tahan yang terlalu tinggi menyebabkan kecenderungan orang menjadi mudah menyerah terhadap situasi atau tak mau berusaha lebih, sementara daya tahan yang terlalu rendah juga akan menimbulkan efek negatif berupa perilaku-perilaku agresi yang membahayakan.

Pada orang-orang tertentu dengan daya tahan yang terlalu tinggi, biasanya terjadi karena individu sudah terlalu jenuh dengan situasi. Ini juga ada hubungannya dengan teori pertukaran sosial,yaitu bahwa orang/individu cenderung untuk bertahan/tetap menjaga hubungan dengan individu lain jika individu itu dianggap 'menguntungkan' baginya dan ketika individu yang lain itu tak seperti yang ia harapkan maka ia secara langsung akan memilih mundur dan menyerah. Proses menyerah itu sendiri juga merupakan salah satu bentuk displacement, yaitu pengalihan dari satu objek ke objek kateksis (objek pendorong) yang lain yang dianggap bisa mereduksi suatu ketegangan. Ini merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri.

Dengan tingkat pertumbuhan perekonomian yang belum stabil, sehingga tidak bisa meredam tingkat pengangguran yang tinggi karena tingkat perluasan lapangan kerja yang masih minim. Hal ini menyebabkan tekanan psikologis yang sangat berat bagi masyarakat dalam kegiatan pemenuhan kebutuhannya. Dalam perekonomian saat ini yang di penuhi dengan ketidak pastian, tingkat inflasi yang tinggi, harga BBM yang mencekik leher dan kalau di telaah lebih jauh, itu pun terjadi bukan hanya di Indonesia, tapi sudah menjadi gejala global.

Termasuk banyaknya demonstrasi - demonstrasi yang dilancarkan berbagai elemen masyarakat sekarang ini, dari elemen bawah hingga atas. Jika euphoria yang terjadi akibat berkumpulnya massa yang mencoba bersuara karena kefrustasian akan usaha pemenuhan kebutuhan hidup tidak mendapat jawaban atau solusi penyelesaian, cenderung menyebabkan hal hal yang bersifat destruktif. Ini bentuk sebuah keadaan pesimisme dan kefrustasian masyarakat dalam menyikapi perubahan dan keadaan ekonomi, budaya, politik dan lain lain yang masih di anggap tidak bisa memberi peluang yang lebih baik untuk kelangsungan hidup mereka.

Frustasi organisasi banyak terjadi karena tidak terealisasinya pemenuhan segala bentuk kebutuhan hidup. Dalam skala yang lebih kecil lagi, misalnya dalam lingkup lingkungan kerja di sebuah perusahaan, jika iklim dan lingkungan kerja perusahaan tersebut belum bisa mendukung pemenuhan kebutuhan para karyawannya, baik kebutuhan ekonomi maupun kebutuhan lainnya, cenderung menyebabkan pandangan pesimisme dan kefrustasian para karyawannya dalam menghadapi hari-hari kerjanya, apalagi tidak ada pilihan pekerjaan lain karena terbatasnya kesempatan dan lapangan kerja. Karyawan secara alamiah mengorganisasi diri membentuk massa yang menganggap mempunyai persamaan, baik secara ekonomi, budaya mau pun idealisme. Menurut Sigmund Freud, manusia yang mengorganisasi diri menjadi satu kelompok dengan massa yang banyak akan bisa menyebabkan euphoria, jika dilandasi tingkat kefrustasian dan pesimisme yang tinggi akibat keadaan sosial dan ekonomi yang terjepit seperti yang sudah di jabarkan di atas akan menyebabkan euphoria yang bersifat destruktif.

Rasa frustasi dan pesimisme yang terus membesar karena tidak adanya solusi yang di anggap baik, cenderung akan memobilisasi massa ke arah gerakan yang bisa bersifat destruktif. Hal ini akan mendorong para karyawan untuk melakukan konsolidasi dan mengorganisasi diri untuk memperkuat dalam hal tawar menawar dengan pihak manajemen dalam hal tuntutan mereka. Dan jika hal ini tidak ditanggapi secara baik, akan menyebabkan kefrustasian dan pesimisme orang-orang tersebut semakin membesar dan bisa menyebabkan hal-hal yang tidak menguntungkan bagi perusahaan, seperti malas bekerja, etos kerja menjadi menurun sehingga tidak tercapai kinerja yang baikefesien dan efektif. Pada skala lebih berat akan cenderung mengedepankan bentuk konsolidasi massa sebagai bentuk frustasi organisasi yang bisa menyebabkan hal-hal yang bersifat destruktif.

Cara untuk meringankan akibat frustasi adalah sebagai berikut:

  1. Perlu mengadakan hubungan interpersonal yang dapat mendorong semangat. Beban berat yang melampaui kemampuan perlu ditampung bersama orang lain. Kehangatan hubungan interpersonal sangat berarti sebagai pendorong untuk mengurangi keadaan frustasi.
  2. Mempelajari dinamika organisasi yang menjadi sumber frustasi dan mencoba mencari jalan keluar. Misalnya wewenang atau tanggung jawab yang kurang jelas harus diperjelas, instruksi yang selalu disalah tafsirkan oleh bawahan harus dicari penyebabnya. Terlalu banyak atau sedikit tugas juga dapat menjadi sumber timbulnya frustasi. Mencari cara kerja baru yang lebih efektif merupakan cara lain untuk memecahkan persoalan. Perubahan semacam itu dapat menghilangkan rutinitas atau sifat menonton suatu pekerjaan. Dunia di luar kita selalu berubah dan kita dan dalam batas kemampuan masing-masing harus mengikuti perubahan-perubahan tersebut.
  3. Menjaga kondisi baik fisik maupun psikis. Dengan makan bergizi baik maupun kebiasaan berdisiplin untuk bekerja maupun banyak bersantai berguna dalam menghadapi. Cara kita bereaksi terhadap frustasi juga perlu diperhitungkan.

Pada dasarnya tidak dibatasi sikap menghadapi frustasi. Organisasi harus menyadari bahwa bukanlah situasi frustasi yang merugikan, tetapi cara orang bereaksi terhadapnya. Banyak orang mengalami frustasi yang sama, tetapi akibatnya berlainan. Hal ini karena pengalaman mereka masing-masing berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline