Akhir-akhir ini di kota saya sedang mewabah fenomena ‘buta warna’ temporer khusus selama di jalan raya. Entah kenapa, pengguna jalan sepertinya tidak perduli (atau tak paham) makna lampu lalu lintas yang berwarna merah, kuning dan hijau itu. Kalau saya tidak salah ingat, hal ini bermula ketika bulan puasa, arus kendaraan yang melintas meningkat tajam di sore hari. Jalan raya di kota saya menjadi sangat padat, ditambah lagi pedagang musiman yang menjual makanan untuk buka puasa menggelar dagangannya di badan jalan. Entah karena bulan puasa, entah karena malas atau lemas karena sedang berpuasa, polisi lalu lintas yang melihat fenomena tersebut seperti “memaafkan” pengguna jalan yang melanggar. Sudahlah, bulan puasa nih.. begitu mungkin.
Ketika lampu berwarna merah menyala, nyaris tidak ada pengguna jalan yang berhenti. Jikapun ada yang patuh dan berhenti, pengguna jalan yang berada di belakangnya akan membunyikan klakson, bahkan sampai marah. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika suatu ketika saya sedang mengendarai mobil dan berhenti di lampu merah, beberapa pengemudi becak di belakang saya membunyikan klakson bersahut-sahutan. Karena saya tetap berhenti (karena lampu masih merah!), seorang pengemudi becak kemudian mengambil lajur kanan untuk mendahului saya, memaksa pengguna jalan yang berlawanan arah untuk menepi memberi jalan. Tidak berjalan mulus tentunya, karena pengguna jalan yang merasa diserobot lajurnya tidak serta merta tinggal diam. Ada yang ngotot tidak mau menepi, ada pula yang memang tidak bisa karena kendaraannya berukuran besar. Kemacetan pun timbul, meski tidak terlalu lama. Ketika akhirnya si pengemudi becak berhasil keluar dari hiruk pikuk kemacetan tersebut, ia menoleh ke saya dan berkata dengan galak, “Dasar! Mentang-mentang naik mobil, suka2 ati aja!”
Nah, lho.!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H