.
Pagi sudah, lama tak kunikmati pagi ini. Masih samakah ia? Sejuknya? Dalam rinai embun yang menggoda dedaunan. Apa yang kau cari dari rindunya pagi yang menyapa, Tuan? Tanya mereka dalam cengkrama basah rerumputan yang membumi. Sapalah kami Tuan! Bercandalah seperti biasa engkau bergumul dengan tirai fajar yang kau singkap! Mereka terus berceloteh. Terdengar riang. Menyapa teligaku. Indah. Ya... jauh lebih indah ketimbang nada hujat yang terdengar parau. Meninggi di balik langit.
.
Mhhh... Semak sekali ladangku! Lalang pun seakan berlomba mencari perhatian matahari. Dimana tanamanku? Dimana mereka semua?
.
“Paman... Paman Petanii... kami di sini!”
“Kaliankah itu?”
“Iya, Paman.”
.
Dari suaranya aku dapat mengenalinya.
.
“Rupanya kau disini , Tomat! Dimana lagi yang lain?”
“Di sini Paman! Di sini!”
“Hahhaha... Kalian masih disini semua?”
“Ya, Paman! Kami tetap setia di sini. Walaupun harus berada diantara lalang-lalang sombong yang menutupi kami dari canda matahari”
“Jangan khawatir, akan kusiangi lalang-lalang itu. Oiya bagaimana keadaan kalian? Adakah yang ingin kalian ceritakan padaku?”
“Aku ada, Paman! Ada.. Ada!” dengan semangat Wortel mengajukan diri.
“oh ya? Coba apa yang mau kau sampaikan, Wortel.”
“Selama menunggu Paman, aku sempatkan menulis sebuah pantun 2 baris untukmu, Paman!”
“Untukku? Pantun 2 baris? Bukannya pantun itu 4 baris?”
“Ini 2 baris, Paman! Rima-nya pun sama. Kedua barisnya isi. Tak ada sampirannya Paman!”
“Kalau memang itu yang kau maksud, itu namanya ‘Gurindam’.”
“Ooh, beda ya, Paman?”
“Jelas beda lah, Wortel. Jumlah barisnya saja sudah beda. Okey deh sekarang coba kau bacakan gurindammu!”
“Ehm... Ehm... aku tarik suara dulu ya, Paman”
.