Lihat ke Halaman Asli

Karuniawan Sagala

Luntang lantung

Tak Ada Tempat Pulang

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

[caption id="attachment_188000" align="alignleft" width="300" caption="rain and tears (Google)"][/caption] Kemarin dia mengatakan padaku, bahwa bukan rasa cinta yang sesungguhnya ada antara kita melainkan hanya rasa kasihan. Betul cuma itu saja alasan mengapa aku diterima menjadi kekasih hatinya. owh..... Pedih sekali. Bahkanbibir ini pun tak sanggup berkata apa-apa. Baru sebulan ini kumerasa bahagia ada dia disisiku, tapi seolah direnggut paksa. Batinku menjerit, aku tak tahan. Aku sungguh-sungguh menyayangi dia, dialah yang memberikan warna dalam hidup ku yang kering. Dialah telaga ditengah padang tandus nan gersang hati ini yang dari hari ke hari terjebak keniscayaan rutinitas. Cuma dia yang aku pikir mampu mendampingi sunyi relung jiwaku ditengah keramaian hiruk pikuk, di tengah sesama yang masing-masing memiliki kesibukan sendiri-sendiri, saling cuek. Bila kemarin kepenatan pikiranku akan luntur karena dihadapanku terbayang sejuta asa akan peluk mesra dan kasih sayang dari mu, lalu kini bagaimana? Bila biasanya ada tempat untuk pulang mengadu hatiku yang tengah dirundung kegalauan dan kegetiran karena hidup yang tak pernah kenal kompromi, lalu sekarang bagaimana? Iya, sekarang bagaimana karena tidak ada kamu yang menjadi pelabuhan jiwa ini. Kumatikan lampu ruangan kamar mungkin dengan begini bisa melonggarkan hati yang terasa menghimpit. Aku kosongkan segala tuntutan akal yang terus-menerus bertanya mengapa, ada apa dan bagaimana? Dari balik jendela kunikmati kejadian alam yang sejak kecil dulu selalu menarik aku untuk mendengarkan dan menghayatinya. Hujan.... Tidak terlalu deras namun bisikan gemericik air jatuh menerpa permukaan tanah ditambah angin sejuk yang menyusup melalui celah daun jendela kamar ini terasa nyaman sekali. Kupejamkan mata, kutarik nafas dalam-dalam dengan perlahan tiga hingga empat kali. Nyaman sekali. Aku masih ingin merindukan dirimu, masih berharap kutemukan kenyamanan ketika berada di sampingmu. Tidak mungkin lagi ya? cintamu bukan untuk aku. Kecewa, sedih, galau, ingin menjerit. Kepada siapa lagi kutumpahkan isi hati yang selama ini hanya kepadamu aku leluasa melakukannya. Karena kasihan, humpft. Memang ku tergila-gila padanya, sudah sejak lama. Berbagai macam upaya kulakukan untuk memperoleh perhatian dan cintanya. Akhirnya ia menyerah dan menerima cintaku itu, tapi sayang kebahagiaanku cuma berlangsung sebulan saja. Mungkin ia telah mendapatkan cinta sejatinya, dan selama ini aku hanya menjadi pelarian saja, bisa aja kan. Tapi mengapa? Mengapa aku yang mendapat rasa ini. Mengapa aku begitu mencintaimu, menyayangimu, memperhatikanmu, padahal engkau hanya merasa kasihan kepadaku dan tidak lebih. Tidakkah kamu rasakan bunga-bunga cintaku bermekaran dihatiku dan ingin kubagi kepada kamu. Tidakkah kamu rasakan betapa ingin kubagi segala kebahagiaan cuma kepadamu. Apakah salah caraku mencintai kamu? Kamu tidak menjawab, kamu hanya tertunduk. Terbersit airmuka penyesalan atas hubungan ini di wajah kamu. Bahkan garis-garis wajah cantikmu yang begitu kukagumi terlihat tanpa daya untuk menjawab cecaran pertanyaan yang aku tujukan kepada kamu. KU BENCI KAMU..... Huh.... ">

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline