Lihat ke Halaman Asli

Jaakrta dan Prosa Sayup-sayup

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kualunkan kakiku dipagi hari penuh semangat, menuju gedung aktivitas seharianku, engkau belum juga terbangun anak ku, walau suara alarm telah memenuhi kamar tidur dilantai dua rumah kita. Meskipun kamu belum terbangun anak harapanku, aku akan tetap pamit dengan kecupan manis dikeningmu pagi ini dan berujar pelan di telingamu "kamu harus jaga dan sayangi adek perempuanmu yang manis ini."

Menelusuri jakarta dengan rasa malas, mungkin kita akan mati kelaparan, maka melangkah dengan harapan walau keterbatasan transpotasi dan kesembrawutan kaum urban. Transporasi publik sebagai pilihan, menghantar kita pada kenyataan Ibu Kota. Armada publik itu melaju dengan sombongnya, sesekali berteriak si kondektur kurus berambut gondrong memberi sandi kepada penumpang juga pak sopir. Aku duduk tepat dekat jendela, dari terminal padat nan kecil di Timur Jakarta. Pagi itu aku dihibur oleh seniman yang mengharapkan belas kasihan. Sebelum roda melaju menyusuri jalanan Ibu Kota, dua orang pemuda mendendangkan lagu dengana aksi dan stylenya, bagaikan aksi panggung artis kenamaan. Aku melihatnya, kedua pemuda itu begitu menikmati profesinya, walau tersirat di wajahnya mimik rasa belas kasihan. Setelah sang sopir mengendalikan bus dan melaju menuju ke arah barat, dengan lancarnya seorang pengamen muda itu berujar tutur kata terima kasih dan kata salam bagaikan seorang ustazd kondang didepan riuhnya jamaah.

Tepat di lintasan jalan sejarah (Jl. Proklamasi-red), terdengar olehku seorang penjaja suara tanpa instrumen, diantara desak-desakan penumpang kaum pekerja, dia berupaya untuk didengar olehku dan oleh penumpang lain tentunya. Seperti biasa dia pasti mengharapkan kantong bekas deterjen yang selalu dibawanya, di isi uang receh oleh penumpang selepas dia menjajakan suaranya yang kadang terdengar meringkih. Menyusuri jakarta, menuju tempatku mencari nafkah mengharuskan melintas di sepanjang jalan Diponegoro – Menteng, yang terkenal kompleks elite itu. Di sisi kiri dan kanan, terlihat gedung-gedung kedutaan berdiri megah, berpagar tinggi bagai benteng pertahanan zaman perang dunia. Di kompleks elite itu juga, berdiri dengan sloganya Tiga Partai Politik yang selalu menghiasi berita akrobat politik nasional. Juga gedung pejabat negara penuh pengawal, yang saya juga tidak mengerti mengapa mereka berada di Kompleks Elite itu.

Di ujung jalan, armada tua dan over kapasitas membawaku, menyusuri Jalan Soedirman, tanpa aba-aba seorang Pahlawan Nasional dalam bentuk patung langsung menghormat kami penuh gagah. Duyunan penumpang mengejar Bis Kota berdesakan mengejar selisih waktu aturan kerja pemilik buruh. Tak terasa, armada 213 itu, melintas di depan Gedung MPR/DPR-RI, seorang pengamen tua dengan kulitnya yang  mulai mengerut kembali berdendang, mendendangkan lagu-lagu yang mungkin penumpang juga tidak mengerti isu syairnya.

Dari kejauhan, terdengan sayup-sayup suaranya yang parau, sesekali hilang ditelan bisingnya kenalpot beradu klakson kendaraan, yang saban hari mengalami kemacetan. Paras wajahnya yang pucat, terlihat jelas tanda ia belum menikmati sedikitpun hidangan pagi itu. Aku yakin benar bahwa prosa sayub-sayub itu, upayanya untuk mencari nafkah/makan setiap hari. Inilah kenyataan Jakarta, saat mataku kutorehkan ke sisi kiri kaca jendela, di sisi jalan terlihat Gedung Wakil Rakyat berdiri dengan megahnya, yang pernah tersiar kabar telah miring 7 Derajat. Tetapi kenyataannya, yang "mereng" itu bukanlah gedungnya, namun penghuninya yang sudah miring hingga 180 derajat lebih. Di dalam gedung itu pula, sekelompok orang hidup dengan mewahnya, hingga anjingnya mungkin juga merasakanya.

Di ujung prosanya yang tidak begitu jelas, kata salam dan terima kasih dengan suara serak terturur dari bibirnya yang kering, sembari merogoh kantongnya, membuka plastik kemasan deterjen yang dia sodorkan kepada setiap penumpang. Seiring dengan laju bis kota, akhirnya dia tersenyum ketika kantong uangnya telah berisi recehan belas kasihan penumpang pagi itu. Aku menebak mungkin dia akan beli makanan untuk mengisi perutnya yang mulai mengeroncong. Oh prosa sayup-sayub akankah engkau benar-benar lenyap digantikan dengan kesejahteraan kelak, ataukah lenyap bersama dengan akhir hembusan nafasnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline