"Hidup yang tak dihayati adalah hidup yang tak layak dijalani"
(Socrates)
Pesan bijak dari salah seorang Filsuf Yunani ini setidaknya bisa menjadi perenungan tersendiri, untuk menarik benang merah terhadap sejumlah polemik dan tantangan yang dihadapi oleh Sang kembang peradaban di bawah kibaran Hijau Hitam. Membongkar ruang-ruang kosong yang sedari dulu diam dalam kekosongannya, Sejenak mengevaluasi "diri" lalu kembali berbenah di atas akar pendirian yang kokoh. Kehadiran KOHATI dalam tubuh HmI bukanlah tanpa sebab dan tujuan yang hendak dicapai, sejarah telah banyak mengisahkan bagaimana tindak tanduk pergolakan yang pernah terjadi, sehingga KOHATI dibentuk dan berdiri sebagai suatu lembaga khusus yang sifatnya semi otonom dalam jaring-jaring struktur tubuh HmI.
Mata rantai sejarah tidak bisa "menutup mata" bahwa lahirnya HmI untuk mengangkat derajat bangsa Indonesia, serta untuk menegakkan dan mengembangkan ajaran islam ini, dipelopori oleh sekitar dua puluh nama yang juga dicatatkan sejarah sebagai pendiri HMI, diantaranya Lapran Pane, Karnoto, Maesaroh Hilal, Soewali, Yusdi Ghazali, Mansyur, Siti Zainab dan lain-lain yang tak sempat penulis sebutkan. Kehadiran dua tokoh perempuan tersebut yakni Maesaroh Hilal dan Siti Zaenab, menginspirasi munculnya perempuan-perempuan aktivis lainnya yang turut bergabung yakni Siti Baroroh, Tujimah, dan Tedjaningsih. Kehadiran beberapa perempuan ini semakin memantapkan perjuangan mereka untuk membangun lembaga ini dengan cara yang lebih progresif dan memberikan sumbangsih besar dalam mengawal lembaga KOHATI, hingga pada akhirnya KOHATI mampu mengepakkan sayapnya di berbagai pelosok di Indonesia. Lebih daripada itu, kehadiran mereka "membuka mata" perempuan-perempuan aktivitis terhadap problematika perempuan sezamannya dan menjadi pelopor dalam memaknai arah pergerakan perempuan.
Saat ini KOHATI telah berusia 48 tahun sejak kelahirannya pada tanggal 2 Jumadil awal 1386 H atau bertepatan pada tanggal 17 September 1966 M. Lembaga yang tumbuh dari benih pergolakan rezim orde baru dan tak luput menyisakan keping-keping pemberontakan terhadap kezaliman dan lakon pembiadaban terhadap perempuan. Dalam catatan sejarah, KOHATI didirikan karena dorongan motivasi yang tinggi terhadap semangat ke-Islam-an HmI Wati, tumbuhnya semangat emansipasi perempuan yang membawa keberhasilan diberbagai bidang, berkembangnya semangat persatuan yang didasarkan rasa senasib dalam memperjuangkan kemerdekaan fisik maupun spiritual para perempuan indonesia, munculnya kesadaran akan rasa tanggung jawab yang besar dalam membangun masyarakat serta cita-cita mulia yang dimiliki oleh HmI Wati, di samping HMI sendiri membutuhkan kekuatan massa yang besar dalam segala aspek perjuangan.
Dalam buku sejarah HmI dari tahun 1966-1994, terdapat dua alasan yang paling mendasar dan menjadi tata bangunan paradigma terbentuknya KOHATI yaitu: secara internal, departemen keputrian yang ada pada waktu itu sudah tidak mampu lagi menampung aspirasi para kader HMI-Wati, disamping basic-needs anggota tentang berbagai persoalan perempuan kurang bisa difasilitasi oleh HMI. Dengan hadirnya sebuah institusi yang secara spesifik menampung aspirasi HMI-Wati juga diharapkan HMI-Wati secara internal memiliki keleluasaan untuk mengatur diri mereka sendiri, dan lebih memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan organisasi yang muncul dari basic-needs anggotanya sendiri yaitu kader HMI-Wati. Secara eksternal, HMI mengalami tantangan yang cukup pelik dikaitkan dengan hadirnya lawan ideologis HMI yaitu komunis yang masuk melalui pintu gerakan perempuan (GERWANI). Selain itu maraknya pergerakan perempuan yang ditandai dengan munculnya organisasi perempuan dengan berbagai variasi bentuk ideologi, pilihan isu, maupun strategi gerakannya membuat HMI harus merapatkan barisannya dengan cara terlibat aktif dalam kancah gerakan perempuan yang berbasis organisasi perempuan
Pembentukan KOHATI sebagai lembaga khusus yang bergerak di bidang keperempuanan tak lepas dari landasan ideologinya yang juga kental dengan dialektika keilmuan berbasiskan islam. Sejalan dengan hal tersebut, KOHATI merumuskan prinsip gerakannya yang berlandaskan pada salah satu hadist Nabi yang mengatakan "An Nisaa’u imadul Bilad, In sholuhat sholuhat, fa in fasadat fasadat" artinya "Perempuan adalah tiang negara, apabila perempuannya baik maka baiklah negara itu. Apabila perempuannya rusak maka rusak pulalah negara itu." Pemaknaan Perempuan yang dimaksud adalah bukan sekedar pemaknaan secara eksoteris tapi lebih kepada poin esoterisnya, dengan memperhatikan sosok perempuan yang memiliki multifungsi yakni, sebagai anggota masyarakat, sebagai ibu, sebagai istri, dan juga sebagai anak. Perempuan dalam memahami perannya, berkewajiban untuk "mengharmonisasikan" aktualisasi dari multifungsi yang dikarunia Allah SWT kepada dirinya, demi mewujudkan masyarakat yang baldatun toyyibatun warobbunghofur.
Sehubungan dengan hal ini, ada kalimat bijak yang dilontarkan oleh seorang Kong Hu Chu, yang dapat dijadikan pelajaran dalam memoles konsep dan aktualisasi gerakan perjuangan KOHATI. Beliau mengatakan bahwa:
Untuk menata dunia, kita harus menata bangsa
Terlebih dahulu,
Untuk menata bangsa
Kita harus menata organisasi terlebih dahulu, sebelum
Menata organisasi kita harus menata keluarga
Terlebih dahulu, dan sebelum menata keluarga
Kita harus menata diri pribadi kita terlebih dahulu.
Kalimat bijak di atas menyiratkan makna mendalam untuk melejitkan pengetahuan dan mengokohkan pondasi gerakan atas perubahan yang hendak dilakukan. Hal itu pula mengejewantahkan Spirit perjuangan yang terpatri di pundak lembaga KOHATI sebagai gerakan perempuan yang sejatinya terus mengup-grade diri sesuai dengan amanah dari tujuan yang hendak dicapai yakni "Terbentuknya sosok Mar’atussolehah yang mampu melakukan transformasi sosial dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT".
Melalui lembaga ini pula, diharapkan perempuan menempa diri dengan penuh kesadaran, menghijrahkan dirinya, dan mengenal fitrahnya ssebgai perempuan dan manusia ciptaan Allah SWT yang hanif yakni condong pada kebenaran, sehingga menjadi insan kamil, yaitu manusia-manusia yang beriman, berilmu dan beramal saleh. Dalam kerangka gerak perjuangannya, sesuai dengan tujuan KOHATI yang memiliki asa membentuk sosok Mar’atussoleha dan terangkum dalam citra diri HMI Wati berdasarkan kualifikasi umum dan khusus. Mar’atussoleha dalam kualifikasi tafsir umum melahirkan insan yang hanya takut kepada Allah SWT, berilmu dan berakhlak mulia, kritis dan tegas dalam pengambilan keputusan, berdakwah secara kontinyu, tekun dalam beribadah. Sedangkan dalam Mar’atussolehah dalam kaca mata tafsir khusus, mengarah pada lima bentuk kemandirian yakni kemandirian spiritualitas, kemandirian dalam bidang pendidikan, kemandirian dalam bidang politik, kemandirian dalam bidang sosial, dan kemandirian dalam bidang ekonomi.
Di usianya yang sudah cukup matang ini...para kadernya perlu mengintrospeksi diri, sudah di titik manakah kita dan apa yang telah kita perbuat untuk menyandang gelar mar'atussoleha tersebut???. setidaknya, ada percikan cahaya yang terpancar dan menjadi penerang dikala pekatnya gulita menghimpit, seperti yang diungkapkan Mustafa Chamran dalam puisinya:
Mungkin ku tak mampu usir gelap ini
Tapi dengan nyala lilin kuingin tunjuk
Beda gelap dan terang
Terang yang menatap cahaya meski temaram
Terang menyala terang diharinya yang dalam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H