Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Di Balik Traveling yang "Hype" di "Zaman Now"

Diperbarui: 28 Desember 2017   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Destinasi wisata dapat dijangkau dengan mudah dan murah berkat dukungan infrastruktur (sumber ilustrasi : sindonews.com)

Traveling, itulah hobi dan impian kinds zaman nowyang sedang hype. Terlebih setelah media digital semakin kuat mempengaruhi generasi masa kini. Terutama media sosial yang berubah jadi ajang unjuk eksistensi.

Betapa tidak, ada kebanggaan tersendiri ketika memosting dokumentasi foto, video hingga artikel feature perjalanan dari destinasi-destinasi ikonik macam Raja Ampat di Papua, Desa Adat Wae Rebo di NTT, hingga Gili Trawangan di NTB. Membuncah sensasi ketika penggal kehidupan yang sarat pengalaman tersebut direspons positif. Mendapatkan ratusan hingga ribuan like, komentar hingga share foto dan video oleh follower di Instagram.

Banyak yang bilang, ukuran eksistensi di era media sosial adalah banyaknya follower yang disahuti oleh engagements setiap aktivitas yang kita unggah di media sosial. Bisa jadi pandangan itu benar. Terutama ketika anda adalah pengguna media sosial yang memang fokus dan mendedikasikan diri pada konten-konten positif.

Fakta mengenai trend traveling yang terdongkrak oleh media sosial yang tak bisa dibendung, membuka peluang finansial di kanal-kanal digital. Bahkan banyak anak muda yang karier profesionalnya bertumpu pada kegiatan traveling. Menjadi influencer dengan konten-konten edukatif, informatif hingga mengentertain.

Tak ayal, traveling atau bentuk liburan yang serupa, menjadi semacam bucket list oleh kids zaman now. Wajib dilakukan. Sekadar berlibur, atau bahkan diiringi obsesi menjadi traveler profesional. Jalan-jalan dan dibayar, asik tenan. Begitu kira-kira imajinasi yang berkelindan.

Selain media sosial, trend traveling juga terdorong oleh gencarnya pemerintah mempromosikan pariwisata Indonesia. Terutama dengan kampanye digital tourism. Branding pariwisata dilakukan di kanal-kanal digital, termasuk mempromosikan destinasi-destinasi baru.

Pada saat bersamaan, dukungan akses ke destinasi pariwisata juga semakin mudah. Pembangunan infrastruktur yang gencar dilakukan pemerintah, memberikan tuah. Destinasi yang dulu sulit dijangkau, atau bahkan tersembunyi, kini memiliki akses terbuka berkat infrastruktur yang kian baik.

Aksesabilitas berkonsekuensi pada efisiensi spending setiap wisatawan. Budget bisa jadi direalokasi untuk durasi wisata yang lebih lama. Bila biasanya biaya transportasi menelan porsi higga 30% sampai 60% ketika traveling, terutama di kawasan timur Indonesia, maka dengan sarana infrastruktur yang memadai ongkos transportasi bisa ditekan.

Menurut keterangan yang dikutip dari siaran pers di website Kementrian Keuangan, sejak tahun 2013 sukuk negara berperan dalam pembiayaan pembangunan infrastruktur. Di masa depan, sukuk diharapkan menjadi tiang pembangunan infrastruktur Indonesia.  Sukuk merupakan instrumen utang piutang tanpa riba yang diterbitkan oleh pemerintah berdasarkan prinsip syariah. Karena itu, pembiayaan infrastruktur dari sukuk lebih efisien.

Harus diakui, infrastruktur merupakan penyokong utama industri pariwisata. Apalagi, program infrastrktur pemerintah menjangkau spot-spot wisata yang selama ini cenderung terisolir. 

Infrastruktur diharapkan mendorong pertumbuhan salah satu sektor unggulan ekonomi Indonesia ke depan ini. Terlebih, tengah terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat ke segmen leisure dimana pariwisata menjadi aspek penting. Leisure economy akan kian kinclong jika infrastruktur pariwisata terus dipoles.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline