Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Mari Boikot secara Waras!

Diperbarui: 19 Desember 2017   00:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: telegraph.co.uk

Boikot produk-produk impor USA? Saya setuju seratus persen karena turut membantu mengamankan devisa. Kalau boikot produk merek USA? Kita harus didiskusikan dulu.

Soalnya begini, banyak produk merek USA yang jika diboikot, justru lebih merugikan Indonesia dan tidak banyak ngefek ke USA. Misal : produk restoran cepat saji, pakaian, dll yang basisnya memang di Indonesia. Sama sekali tidak terkait dengan ekonomi Amerika kecuali pembelian lisensi, atau frachise fee. 

Kerugiannya, ada puluhan ribu buruh yg kerja di pabrik Nike di Cianjur. Ratusan ribu tenaga kerja diserap oleh MCD, Pizza Hut, Domino's Pizza, KFC, dll. Bila merek USA tersebut yang diboikot, Indonesia rugi. Ratusan ribu atau mungkin jutaan tenaga kerja ini yang menerima dampaknya jika kita salah menerjemahkan boikot.

Itu baru bicara satu dampak. Belum lagi efek menurunkan konsumsi yang jadi tumpuan ekonomi Indonesia. Jika konsumsi menurun, dampak turunannya bisa melebar kemana-mana.

Gerakan dan seruan boikot sebetulnya bagus sebagai bahan intropeksi. Menyadarkan, betapa digdayanya ekonomi USA. Mereka mengekspor merek, yang lantas membuat ekonomi Indonesia ketergantungan.

Untuk situasi saat ini, idealnya, seruan boikot ditujukan khusus produk-produk impor USA. Misalnya produk otomotif merek USA di Indonesia yang 100% impor karena mereka belum punya pabrik di Indonesia. 

Selain produk otomotif merek USA, kita butuh data detil dari Kementrian Perdagangan ihwal apa saja yang diimpor dari Amerika. 

Atau begini saja. Langkah praktisnya, jika beli sesuatu, cek buatan apa? Jangan-jangan malah "Made in China" semua. Tahu kan, sumber impor terbesar Indonesia dari mana?

Teguran ekonomi dalam bentuk gerakan boikot, harus dilakukan terstruktur, terencana dan based on data. Tidak boleh asal boikot, modal emosi. Jangan-jangan tetangga atau keluarga kita yang kerja di McD malah kena PHK karena seruan salah sasaran. Dzalim ke saudara sendiri namanya itu. 

Lagipula, jika merek yang diboikot, agak sulit untuk konsisten. Ini soal perilaku pasar. Terutama konsumen menengah atas. Mereka mengeluarkan uang sebagai konsumen yang rasional plus emosional. Membeli value dan merek. Adakah merek penggati yang sepadan agar gerakan boikot ini konsisten?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline