Ketika berbicara tentang ikon Singapura, apa yang terlintas di pikiran anda? Patung Merlion yang menyemburkan air, bukan? Jika menyebut ikon Jakarta, mesti yang pertama terlintas adalah Monumen Nasional (Monas).
Itulah kekuatan dari sebuah landmark. Tak hanya sebagai destinasi wisata, namun juga melengkapi identitas satu kota atau wilayah.
Landmark menjadi destinasi favorit di setiap kota, meskipun hanya singgah mengabadikan foto. Tidak sempurna perjalanan ke Paris jika tak berfoto dengan latar belakang Menara Eiffel. Kurang absah datang ke New York jika melewatkan Patung Liberty, Empire State Building atau Central Park.
Landmark dan kota merupakan kesatuan utuh. Kota tanpa landmark bagai sayur tanpa garam. Hambar rasanya menjadi wisatawan mengunjungi satu kota tapi tidak berfoto di tempat yang memorable dan merepresentasikan kota tersebut.
Di era sosial media, landmark merupakan sarana marketing dan city branding yang efisien dan efektif. Betapa besar dampak marketing yang dilakukan oleh 6,8 juta turis yang berkunjung ke Menara Eiffel setiap tahun, dimana bila setiap dari mereka memosting di media sosial masing-masing minimal satu foto dengan latar menara besi yang dibangun pada tahun 1889 tersebut. Apalagi bila postingan itu dibumbui kalimat memikat, membuat orang-orang yang melihat foto tersebut jadi ingin juga berkunjung ke Menara Eiffel.
Kini makin banyak wisatawan dengan pengalaman yang sama, mengunjungi satu tempat karena awalnya terpikat oleh postingan teman di Facebook. Dus, media sosial tak lagi sekadar medium promosi bagi merek-merek yang berkecimpung di dunia pariwisata untuk berpromosi, namun juga merupakan satu jalan untuk menghubungkan para turis dengan calon turis. Media sosial dengan konten landmark melimpah, telah terintegrasi sebagai satu variable rujukan yang dipertimbangkan sebelum calon wisatawan memutuskan akan pergi ke satu tempat.
Berbicara soal kepuasan konsumen, landmark bahkan menjadi unsur penting dalam menciptakan customers experience. Pengalaman yang diperoleh wisatawan tidak selesai ketika sesi selfie atau berfoto di tempat-tempat ikonik.
Pengalaman tersebut berlanjut manakala dengan rasa bangga mereka momosting foto-fotonya, lalu disahuti pujian dan sanjungan dari para follower di Instagram. Rasa bangga dan prestise, yang bisa jadi juga menelusup ke dalam imajinasi para follower di media sosial sehingga tergerak untuk berwisata di tempat yang sama.
Lantas, landmark seperti apa yang sebaiknya dibangun atau dikelola (jika landmark tersebut terbentuk secara alami) agar relevan dengan misi city branding di era media sosial? Jawabannya, tentu saja yang Instagramable : layak dijadikan spot berfotoria, sebisa mungkin disiapkan titik-titik khusus yang membuat orang nyaman ketika mengabadikan gambar. Landmark tersebut mudah diakses dan tidak berada di keramaian, terutama yang berbahaya misalnya di jalur lalu lalang kendaraan.
Jembatan Suramadu dan Tugu Jogja merupakan dua landmark yang sangat ikonik, namun sayang berada di tengah arus lalu lalang kendaraan sehingga agak riskan ketika wisawatan ingin mengabadikan foto mereka di tempat tersebut. Mungkin banyak landmark lain yang serupa, dan mesti dicari solusinya agar fungsi landmark lebih optimal menguatkan city branding di media sosial.
Selain tugu, situs sejarah, monumen atau situs alami seperti Danau Kelimutu di Nusa Tenggara, infrastruktur dan ruang publik juga bisa dijadikan landmark. Seperti Central Park, taman di tengah hutan beton yang menjadi landmark di jantung Amerika Serikat, New York. Demikian pula Golden Gate, landmark kota San Fransisco yang juga merupakan infrastruktur publik.