Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Menyelamatkan Agenda Pembangunan Tanpa APBN

Diperbarui: 8 Agustus 2016   11:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

APBN merupakan pengejewantahan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah dan legislatif (sumber : aktualpost.com)

Menteri Keuangan yang baru, Sri Mulyani membuat terobosan terhadap struktur APBN. Menyadari kondisi keuangan negara yang sedang tidak sehat, mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut menyunat anggaran sejumlah kementerian dan lembaga yang tertuang di APBN hingga mencapai Rp 133,8 triliun.

Sri Mulyani memandang bahwa dengan kondisi keuangan negara yang megap-megap, tidak mungkin APBN mampu diimplementasikan. Dua tahun belakangan, pemerintah disimpulkan menyusun APBN secara serampangan dengan target-target ambisius namun tidak visible. Terutama ini diakibatkan oleh melesetnya target penerimaan negara sehingga dalam jangka dua tahun memerintah Jokowi-JK sudah menambah tumpukan utang luar negeri lebih dari Rp 750 triliun.

Terlepas dari pro-kontra yang mengiringi sebab dikhawatirkan membawa Indonesia berkiblat ke ekonomi liberal, Sri Mulyani hadir di saat yang tepat. Paling tidak, dalam hal visibilitas, APBN dikembalikan ke jalan yang benar.

Berbicara soal makro ekonomi, APBN hanyalah bagian kecil dari variabel penggerak pembangunan. APBN tidak bisa dijadikan variabel tunggal untuk mencapai angka-angka statistik yang diinginkan.

APBN memang merupakan pengejewantahan kedaulatan rakyat yang diamanatkan kepada pemerintah dan legislatif. Namun, tetap saja variabel lain seperti regulasi atau undang-undang dan penegakan hukum dibutuhkan menyokong perekonomian. Karapuhan sistem perekonomian Indonesia karena tidak sinergi dan terintegrasinya antarsektor.

Menyiasati kondisi keuangan negara yang rentan, pembangunan harus terus berlanjut. Defisit APBN bukan berarti mengorbankan pembangunan dan mengabaikan janji-janji pemerintah mewujudkan kesejahteraan. APBN memang tak dapat sepenuhnya diandalkan, tapi masih banyak opsi yang bisa ditempuh tanpa harus menyalahkan keadaan.

Menggalakkan investasi merupakan kata kunci pamungkas untuk mengangkat ekonomi suatu negara. Beberapa negara yang "miskin" kuantitas sumber daya alam dan sumber daya manusia sukses berada di jajaran teratas ekonomi dunia karena peran investasi. Sebutlah misalnya Singapura, negara kota yang tak memiliki sumber daya alam semelimpah Indonesia. Namun, Singapura menjadi kampium ekonomi global yang ditakar dari tingkat kesejahteraan rakyat (PDB perkapita tertinggi ketiga di dunia) berkat kecakapan negeri jiran tersebut dalam menyedot investasi. Ada lebih 3000 Multi National Corporations dari USA, Jepang dan Eropa yang membenamkan dana mereka di Singapura.

Bagaimana dengan Indonesia? Kebijakan investasi di negeri ini tidak konsisten. Presiden Jokowi, dalam berbagai kunjungannya di luar negeri memang sangat aktif mempromosikan prospek investasi di Indonesia. Namun, di saat yang bersamaan, pejabat dan struktur pemerintahan di bawah kerap kali bertindak kontraproduktif. Ada yang berdalih dengan dalil hukum, ada pula yang justru menyeret ke wilayah politik.

Contoh kecil, soal reklamasi. Dalam kacamata ekonomi, keluarnya keputusan Menko Maritim ketika itu, Rizal Ramli yang menghentikan reklamasi Pulau G, sangat membuat was-was para investor. Agung Podomoro Land selaku pengembang Pulau G bahkan sampai menggelar konverensi pers merespons keputusan pemerintah pusat yang dipandang merugikan investor, tidak terkoordinasi dengan Pemda DKI yang telah mengeluarkan izin pelaksanaan reklamasi serta menimbulkan ketidakpastian.

Padahal, sebelumnya Pesiden Jokowi menjanjikan pelaksanaan reklamasi 17 Pulau terintegrasi dengan megaproyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD). Statement Presiden, mestinya bisa ditangkap dan diterjemahkan oleh struktur di bawahnya dengan baik agar tidak mencoreng dan meruntuhkan wibawa pemerintah.

Pekerjaan berat pemerintah di sektor investasi sebetulnya bukan pada masifnya promosi di luar negeri dan pembenahan infrastruktur. Tapi bagaimana membenahi sistem dengan menyiapkan perangkat aturan (software) yang mendukung terwujudnya iklim investasi yang sehat. Tanpa promosi sekalipun, jika memang kondusif, dengan sendirinya investasi mengalir ke Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline