Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Reklamasi dan Maturasi Adopsi Informasi

Diperbarui: 8 Mei 2016   18:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Reklamasi yang digagas pemerintah "Proyek Garuda" bakal menjadi pulau ikonik di Indonesia karena bentuknya yang unik menyerupai haruda yang sedang terbang. Salah satu fungsi pulau ini kedepan adalah menjadi tanggul raksasa yang mencegah Jakarta dari tenggelam. (Sumber ncicd.com)Tulisan ini tidak berpretensi memaksa pembaca untuk memosisikan pendapat tentang reklamasi pada satu pilihan tertentu. Mau menerima atau menolak, itu pilihan pribadi. Tulisan ini ini tentang bagaimana menjadi warga abad digital yang cerdas, kritis dan terbuka.

Melakukan verifikasi untuk validasi informasi, merupakan satu keniscayaan di era ketika informasi yang datang begitu deras mencari dan menghampiri manusia sebagai konsumennya. Berkebalikan dengan abad sebelumnya, dimana manusialah yang mencari informasi. Kita tengah berada di zaman yang nilai benar/salah didrive oleh rezim informasi dan teknologi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan kepentingan publik, diukur dari besaran ekspos media, popularitas yang diraup serta capaian rating.

Makin popular, hits dan jadi trending, maka ia dianggap kebenaran (hampir) mutlak. Dan media dengan berbagai variannya, didaulat menentukan paramater kebenaran tersebut. Sesuatu dianggap benar bila popular, sering diberitakan dan disahuti oleh suara yang riuh di media.

Secara kultural, kondisi ini dibingkai oleh sistem yang kita sebut demokrasi. Dimana bukan esensi yang jadi instrumen utama, tapi penerimaan (akseptabilitas) publik. Karena itu kita mengenal suara mayoritas-minoritas. Padahal, pandangan umum publik bisa jadi meleset. Terlebih bila mereka, menerima informasi tidak matang dari sumber yang sama. Celakanya, hal ini diadopsi serampangan dalam kehidupan secara umum.

Mencuatnya kontroversi soal reklamasi, membuktikan tesis di atas. Betapa tidak, secara gegabah banyak yang memosisikan diri berada di barisan pro atau kontra terhadap reklamasi karena membiarkan dirinya dibawa hanyut oleh arus publik yang mengkristal di media. Independensi intelektual dan rasio, dibonsai karena alasan-alasan emosional.

Keputusan mendukung atau menolak reklamasi yang artikulasinya kemudian dilantangkan di media sosial, sekadar menyahuti apa yang mayoritas berkelindan di media dan diaminkan oleh kelompoknya dengan ikatan emosi berbasis similaritas identitas simbolik.

Manakala kelompok yang ia identifikasi sebarisan dengannya menyatakan “dukung reklamasi” maka ia spontan menerima tanpa upaya verifikasi. Demikian pula di kutub sebaliknya. Ada yang tergopoh-gopoh “menolak reklamasi” setelah emosinya ia biarkan diaduk oleh kelompok yang ia percayai bagian dari dirinya tanpa sesaat pun memberikan kesempatan kepada potensi nalarnya untuk mencerna dan mengaudit informasi mendahului proses memutuskan secara independen.

Ketika identitas personal dibiarkan melebur ke dalam identitas komunal, maka ini adalah bentuk pelemahan terstruktur dalam pengabaian potensi individual.

Untuk mereka yang kontra misalnya, cobalah membuka diri terhadap informasi bahwa : Pertama, 40% dari wilayah reklamasi tersebut menurut Permen PU Nomor 40/PRT/M/2007 harus diperuntukkan bagi ruang publik. Tak hanya itu, wajib pula ada kontribusi untuk Pemda DKI sebesar 15% yang (dalam proses) dituangkan ke dalam Perda.

Kedua, reklamasi itu ternyata membantu menghalau/membersihkan laut dari limbah industri yang muara pembuangannya saat ini langsung ke laut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline