Lihat ke Halaman Asli

Jusman Dalle

TERVERIFIKASI

Praktisi ekonomi digital

Opini Republika: Korupsi Pajak

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : sumutpos.co

[caption id="" align="alignleft" width="450" caption="Sumber : sumutpos.co"][/caption] Komisi Pemberantasan Korupsi kembali menghentak publik. Lembaga anti rasuah itu menetapkan bekas Dirjen Pajak, Hadi Purnomo sebagai tersangka dalam kasus permohonan keberatan pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) pada tahun 2003. Reformasidi tubuh Direktorat Jenderal Pajak pepesan kosong belaka. Pucuk pimpinan lembaga tersebut nyatanya tak bebas dari praktik kotor yang merugikan Negara. Temuan kasus korupsi Hadi Purnomo, menambah daftar panjang korupsi di tubuh lembaga yang diberi kewenangan mengurusi penerimaan paling besar di republik tercinta. Nampaknya, anggapanlama di tengah-tengah masyarakat,bahwa kantor pajak merupakan sarang koruptor dan menjadi momok, tak bisa dienyahkan begitu saja.Borok kantor pajak jadi ajang pemerasan dan kongkalikong untuk memuluskan urusan wajib pajak, lagi-lagiterbukti. Kasus Hadi Purnomo membongkar kembali memori publik terkait rentetan skandal pajak di negeri ini. Sebelum mantan Dirjen Pajak ini, berita terakhir pegawai pajak yang dicokok KPK adalah Ketua Penyidik Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jakarta Pusat berpangkat golongan IV B, Pargono Riyadi. Iadigelandang KPKke pesakitan setahun lalu, tepatnya pada 9 April 2013. Kilas balik cerita para pembajak pajak bermula dari Gayus Tambunan yang muncul fenomenal dan menjadi etape pembuka mengiringi riuh kasus pembajak pajak di negeri ini. Kisah Gayus heboh, sebab ia hanya pegawai biasa di Ditjen Pajak namun diketahui mempunyai uang Rp 25 miliar di rekeningnya plus uang asing senilai 60 miliar dan perhiasan senilai 14 miliar di brankas bank. Kasus Gayus yang mencuat di tengah benang kusut penegakan hukum perseteruan KPK dan Polri dalam babakan Cicak vs Buaya tahun 2009 lalu, bahkan melibatkan 12 Pegawai dan dua orang pejabat Ditjen Pajak, yaitu mantan Kepala Kantor Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak Jakarta VII  Bahasyim Assifie dan Mantan Direktur Keberatan dan Banding Direktorat Jenderal Pajak  Bambang Heru Ismiarso. Selain Gayus, nama lain yang juga menorehkan nokhtah hitam dunia perpajakan Indonesia adalah Tommy Hidratno Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi Kantor Pajak Sidoarjo, Anggrah Suryo yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Bogor serta Dhana Widyatmika, seorang pegawai biasa di Ditjen Pajak Rentetan terungkapnya kasus pembajak pajak ini semakin menguatkan skeptisme publik terhadap kinerja lembaga yang dibawahi oleh Kementrian Keuangan tersebut. Skeptisme yang bahkan pernah memuncak menjadi ancaman boikot pajak. Perangai koruptif oknum-oknum di tubuh Ditjen Pajak, bisa jadi mengamini kesadaran pemerintah perihal masih rendahnya penerimaan negara dari sektor pajak. Saat ini, rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia hanya sekira 12 persen, atau terendah di Asia. Bersarangnya koruptor di tubuh Ditjen Pajak bertentangan dengan upaya kampanye untuk mengetuk kesadaran masyarakat membayar pajak yang sedang digalakkan. Seruan membayar pajak malah mentah dengan sendirinya, sebab tidak diikuti oleh perbaikan dari dalam. Masyarakat jadi memiliki argumentasi untuk menunda atau bahkan boikot membayar pajak karena melihat banyaknya oknum predatoris bercokol di tubuh Ditjen Pajak. Sistem di Ditjen Pajak masih menyisakan celah bagi para predator anggaran. Dari beberapa data yang bisa dijadikan acuan, kita hanya mampu mengira-ngira potensi kerugian tersebut. Periode 2008-2009 misalnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pernah menemukan potensi ke­rugian negara hing­ga Rp 96 trili­un di Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Satu, Ja­lan Medan Merdeka Timur 16, Jakarta. Bagaimana di kantor pelayanan pajak region lainnya? Wallahu’alam. Anggota DPR RI,Bambang Soesatyo pernah mengatakan,setiap tahun negara merugi sebesar Rp 360 triliun karena perampokan di sektor pajak. Kegagalan pemerintah mengelola pajak sebagaimana kita lihat dari berbagai kebocoran dan tindakan koruptif, serta lambannya proses reformasi birokrasi yang menjadi surga bagi para pengemplang pajak, jangan sampai semakin menimbulkan antipati dan memantik kembali himbauan boikot membayar pajak. Sebab jika semangat dan kesadaran masyarakat membayar pajak yang menjadi sumber pendapatan terbesar negara ini sirna dan berubah menjadi pembangkangan, bisa kita bayangkan dampak sistemik yang bakal terjadi. Negara ini terancam stuck karena pajak adalah energi utama yang menggerakkan mesin pembangunan . Pajak yang berfungsi budgetair memiliki peran sangat vital guna memacu roda pembangunan.  Pajak menggalakkan tujuan-tujuan umum pemerintah seperti mencegah pengangguran, kestabilan moneter, dan pertumbuhan ekonomi (Safri Narmutu, 2005). Namun iklim ekonomi yang terus membaik, yang mestinya menjadi tumpuan harapan untuk mengakselerasi pembangunan, bisa jadi berlalu sia-sia belaka jika korupsi di tubuh Ditjen Pajak tak ditumpas habis. Maka inilah urgensi tugas KPK di tengah pertumbuhan ekonomi, yakni mengawal pembangunan dengan mencegah terjadinya kebocoran-kebocoran penerimaan Negara yang kerap timbul dari kongkalikong antara pengusaha dan pejabat pemerintah atau pengendali birokrasi. Bila potensi-potensi kebocoran anggaran bisa diantisipasi, pertumbuhan ekonomi ddipastikan bisa lebih tinggi. Sebab eksistensi daulat fiskal sebagai stimulus mesin pertumbuhan terjaga dengan baik. *Tulisan ini diterbitkan oleh koran Republika edisi Kamis (24/4/2014) Baca juga artikel saya lainnya Jebakan Kelas Menengah di Bisnis Indonesia Writing Contest

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline