"Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia".
(Kutipan Pidato Bung Karno di semarang 29 Juli 1956)
Pada mulanya saya tidak tertarik untuk turut berkomentar, apalagi capek-capek berpikir serta menulis panjang lebar perihal hasil Pilpres yang akhirnya harus tergiring masuk ke ruang sengketa persidangan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun melihat ketidakdewasaan yang berkembang dan bahkan mengarah ke aksi vandalisme (perusakan), terutama perusakan budaya verbal yang sehat di jejaring sosial satu sama lain antar pendukung kedua pasang calon presiden, akhirnya tiga hari kemarin saya memutuskan untuk turun pikir dan tangan (baca : menulis) berbagi pandangan dan informasi perihal sengketa pilpres yang terus bergulir.
Salah satu ekspresi ketidakdewasaan berdemokrasi, bahkan merupakan tindakan tak demokratis adalah membatasi, menghalang-halangi atau bahkan menghilangkan hak orang lain yang dijamin oleh konstitusi. Contoh teranyar dalam hal ini adalah gelombang serangan teralamatkan kepada orang-orang yang bersaksi di MK. Mulai dari semburan bully di Twitter dan Facebook yang ditujukan kepada Novela Nawipa hingga cacian yang ditujukan kepada saksi ahli sekelas Prof Yusril Ihza Mahendra.
[caption id="attachment_338427" align="aligncenter" width="490" caption="Salah satu ekspresi vandalisme verba di Kompasiana. Kompasioner ini teridentifikasi bergerilya melontarkan caci maki di berbagai postingan Kompasiana (sumber : dok.pribadi)"][/caption]
Tindakan-tindakan vandalisme verbal yang berseliweran di internet menjadi cerminan bila sesungguhnya ujian kedewasaan berdemokrasi maupun berbeda pendapat secara beradab tengah dipertaruhkan dan kita sebagai suatu bangsa hampir gagal melampaui ujian tersebut. Yang harus dipahami, bahwa bersengketa di MK adalah konstitusional dijamin oleh undang undang. Maka sangat tidak terpuji mengolok-olok, mencaci dan menistakan mereka yang menggunakan hak konstitusionalnya.
Khazanah kebudayaan kita, bahkan dunia, merekam bila Indonesia adalah bangsa beradab dalam bertutur tulis dan bertutur kata. Karya sastra Sureq I La Galigo dari Tanah Bugis, Sulawesi Selatan yang kini sebagian naskah aslinya (manuskrip) ‘ditahan’ di Perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en VolkenkundeLeiden, Belanda merupakan masterpiece di jagad sastra. Sureq I La Galigo adalah karya sastra terpanjang di dunia, bahkan mengalahkan kisah Mahabarata dari India. Sureq I La Galigo merupakan kristal keadaban tutur kata dan tutur tulis yang diakui dunia. Sureq I La Galigo bukti otentik betapa tinggi peradaban bangsa Indonesia di bidang kesusasteraan. Ia mestinya terpelihara ke dalam aliran darah bangsa Indonesia hingga hari ini.
[caption id="attachment_338428" align="aligncenter" width="682" caption="Sureq I La Galigo bertuliskan Aksara Lontara dari tata huruf Bugis. (Sumber : Wikipedia)"]
[/caption]
Padagalibnya, perbedaan pandangan dalam berdemokrasi merupakan hal yang wajar, bahkan merupakan sebuah keniscayaan. Kuncinya kembali lagi kepada diri kita sebagai satu bangsa, apakah memang telah siap menjadi entitas yang demokratis, atau malah ternyata di dalam darah daging bangsa yang telah genap berusia 69 tahun ini masih terpendam benih-benih arogansi yang merupakan salah satu karakter fasisme dimana kekuasaan absolut berada di atas segalanya atau menisbikan keragaman yang ada.
Bila ingin bangsa ini maju, saya kira saatnya kita menanggalkan jubah ego politik di bawah payung besar konstitusi NKRI. Di usia matang bangsa ini yang ke 69 tahun, telah dilalui akumulasi pengalaman panjang membentuk mozaik hingga semestinya Indonesia layak berada di tempat terhormat dalam percaturan dunia. Namun berada dalam posisi bermartabat di hadapan bangsa=bangsa lain, tentu saja menghajatkan satu syarat utama yang barangkali selama ini selalu menarik kita untuk diam di tempat manakala kita berupaya melangkah kedepan, yaitu mengelola perbedaan sebagai modalitas pembangunan. Singkatnya, kita butuh kedewasaan berpolitik.
Ekspresi komunikasi dengan tone negatif di internet, semoga saja merupakan hanya letupan emosi sesaat dan bukan menjadi karakter baru yang diadopsi paksa oleh anak-anak bangsa akibat cultural shock merespons kemajuan dunia informasi, termasuk jejaring sosial sebagai salah satu produk derivatif signifikansi temuan umat manusia. Seperti dampak pada temuan teknologi yang lain yang selalu memendam ambivalensi, tools seperti Twitter dan Facebook memang laksana pisau bermata dua yang bisa membahayakan penggunanya.
Sebagai bangsa yang senantiasa dinaungi karakter adi luhung yang ditumbuhkan oleh nenek moyang sejak kita belum menjadi NKRI, saya kira kita punya modal kuat memosisikan kemajuan zaman dan temuan-temuan di berbagai bidang, dalam konteks politik adalah jejaring sosial, sebagai berkah peradaban. Bukan malah mengadopsi kemajuan tersebut menjadi benalu yang merusak aliran energi positif ke batang tubuh tatanan kebangsaan.
Seperti pesan Bung Karno yang dikutip di awal tulisan ini, pada momentum HUT Proklamasi Kemerdekaan RI ke 69, mari kita kembalikan spirit persatuan, membangun keadaban menuju Indonesia yang maju dan makmur berkeadilan. Karena, kata Bung Karno, “kita adalah tanah air paling cantik di dunia”. Merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H