Menipisnya stok BBM bersubsidi akibat konsumsi BBM yang sangat tinggi berimplikasi ke sektor politik. Seperti yang sudah-sudah, krisis BBM selalu jadi mainan para politisi untuk meraup simpati rakyat dengan berbagai alasan argumentatif. Menyikapi krisis BBM yang bakal berdampak ke pembengkakan subsidi, politisi terbelah dalam dua sikap bersebarangan. Ada yang setuju dan menolak. Masing-masing punya argumentasi yang nampak seolah-olah benar.
Bagi kelompok politisi yang pro kenaikan harga BBM, mereka berargumentasi bahwa pembengkakan subsidi membebani APBN, mempersempit ruang fiskal dan menyebabkan anggaran megap-megap sehingga membikin pusing pemerintah dalam menutupi defisit. Sedang kelompok politisi yang dengan keras menolak kenaikan harga BBM, berargumentasi bahwa kenaikan BBM bakal menimbulkan efek domino ke sektor ekonomi sebab kenaikan BBM selalu diikuti oleh ritual kenaikan harga-harga dan inflasi sehingga merongrong ekonomi rakyat kecil.
[caption id="attachment_339991" align="aligncenter" width="597" caption="Demonstrasi PDIP menolak kenaikan harga BBM (sumber : vivanews.co.id)"][/caption]
Menaikkan harga BBM hanya akan menambah angka kemiskinan baru, dan ujung-ujungnya orang-orang miskin ini dibikinkan program pengentasan kemiskinan yang bersumber dari APBN, alias uangnya hanya berputar-putar disitu juga atau tidak produktif. Bila pun memang sangat terpaksa dan mendesak menaikkan harga BBM, kelompok ini menawarkan solusi menaikkan harga BBM untuk kendaraan roda empat berplat hitam/mobil pribadi saja. Lagian, selama ini 70% subsidi BBM dinikmati orang kaya yang memiliki kendaraan roda empat.
Khusus untuk sepeda motor, angkutan umum serta angkutan barang yang umumnya berperan urgen untuk menggerakkan ekonomi rakyat kecil, tetap harus menikmati subsidi BBM. Dengan skema kenaikan yang tidak merata ke semua konsumen BBM ini, kenaikan BBM diharapkan tidak membenani masyarakat kecil akibat dampak lanjutan berupa kenaikan harga.
[caption id="attachment_339992" align="aligncenter" width="576" caption="Demonstrasi Rieke "]
[/caption]
Terlepas dari berbagai pro kontra dan adu argumentasi di atas, ada “hal menarik” lain yang saya amati terkait upaya menghembuskan wacana kenaikan BBM. “Hal menarik” yang saya maksud adalah menyadarkan kita tentang betapa mudahnya politisi ingkar janji, lupa kata-kata (bahkan yang terekam baik dalam arsip media). Flash back mengingat di pertengahan tahun 2013, ketika pemerintahan SBY menaikkan harga BBM, waktu itu salah satu entitas politik yang menolak keras untuk menaikkan harga BBM adalah PDIP yang memang berada di luar pemerintahan. Berbagai agitasi, argumentasi provokatif dilakukan secara terorganisir. Bahkan PDIP membikin dan mengedarkan Buku Saku APBN Tandingan Menolak Kenaikan BBM. Membela rakyat! Itulah kira-kira frase pilihan PDIP untuk mengatrol pencitraan menarik simpati rakyat kala itu.
[caption id="attachment_339993" align="alignleft" width="620" caption="Demonstrasi Fransiskus Xaverius Hadi Rudyatmo, politisi PDIP yang juga Walikota Solo menolak kenaikan harga BBM (sumber : tempo.co)"]
[/caption]
Di kekinian, manakala PDIP di ambang kekuasaan, ketika Capres yang diusungnya memenangi pemilu, tiba-tiba partai yang diketua oleh Megawati Soekarnoputri sejak 15 tahun lalu itu memaksa Presiden SBY menaikkan harga BBM. Politisi-politisi yang dulu juga getol menolak kenaikan harga BBM, kini seolah amnesia, berbalik memaksakan kehendaknya kepada pemerintah yang masih absah agar menaikkan harga BBM. Publik menangkap kesan, partai ini tidak berani mengambil kebijakan tak populis.
Kita mahfum, siapapun yang menaikkan harga BBM, citranya pasti anjlok. SBY telah merasakan itu berulang kali. Ancaman citra anjlok ini yang nampaknya dihidari oleh PDIP berserta Jokowi, sehingga sebelum mengambil etafet kepemimpinan, PDIP dan Jokowi Cs menginginkan Presiden SBY menaikkan harga BBM agar bukan PDIP dan Jokowi yang menanggung resiko “citra anjlok”.
[caption id="attachment_339994" align="aligncenter" width="480" caption="Ketua DPP PDIP yang juga anggota DPR RI, Maruarar Sirait, berorasi menolak kenaikan harga BBM (sumber : tempo.co)"]
[/caption]
Mungkin karena mabuk oleh pesta kekuasaan yang baru saja direnggut, PDIP jadi lupa bahwa suara yang dititipkan oleh rakyat sehingga partai ini jadi pememang pemilu 2014 berkat kampanyenya yang selalu menjual wong cilik, juga disertai harapan bahwa mereka betul-betul akan membuat kebijakan pro rakyat. Pun dengan Jokowi yang selalu mengesankan diri sebagai wong deso sebagai satu strategi marketing untuk menciptakan kesan dekat dengan rakyat (proximity), mestinya menjaga amanah yang percayakan agar tidak berpikir macam-macam, belum dilantik kok sudah mau mencekik rakyat kecil dengan menaikkan harga BBM.
Barangkali Jokowi tidak tega “mencekik” rakyat secara langsung, tapi ada upaya sangat serius “mencekik” rakyat kecil dengan meminjam tangan Presiden SBY. Menggunakan berbagai perangkat, termasuk serangan opini di media massa, meminjam tinta para wartawan dan artikulasi pembenaran para pengamat dengan satu goal, menciptakan kesan genting seolah republik ini akan runtuh jika (harga) BBM bersubsidi dipertahankan. Padahal subsidi adalah hak rakyat dan kewajiban pemerintah. Mereka kompak hendak memaksa Presiden SBY menaikkan harga BBM di penghujung kekuasaannya.
Namun sayang, upaya Jokowi gagal dan sia-sia. Usai bertemu Jokowi di Bali, Presiden SBY menyatakan menolak untuk menaikkan lagi harga BBM. Kegagalan Jokowi melobi SBY menaikkan harga BBM adalah “hal menarik” lain dari “politik BBM”. Jokowi yang memang baru masuk ke dunia politik pada tahun 2005, ternyata belum punya cukup kapasitas memainkan “politik BBM” yang kadang kala bisa mengguncang singgasana di istana negara.
Entah bagaimana ke depan, ketika telah resmi dilantik menjadi Presiden dan Jokowi hendak menaikkan harga BBM, apa mantan Walikota Solo ini mampu meluluhkan DPR yang mayoritas dikuasai oleh Koalisi Merah Putih, agar mau mengesahkan kebijakannya. Butuh kecakapan memainkan lobi politik tingkat tinggi. Ini sekaligus menjadi ujian bagi Jokowi, perihal kapasitasnya memimpin Negara demokrasi besar yang menghajatkan kombinasi dua unsur kepemimpinan sekaligus, yakni kapasitas kepemimpinan praktis di dalam birokrasi (manajerial) dan dan kapasitas kepemimpinan politik (leadership). Bila memang Jokowi lolos dari ujian “politik BBM”, mungkin kita bisa berharap banyak pada presiden baru Indonesia yang datang dari latar belakang yang sama dengan kebanyakan rakyat Indonesia ini.
[caption id="attachment_339996" align="aligncenter" width="416" caption="Jokowi juga pernah menolak kenaikan harga BBM. Dampak penolakan kala itulah yang kini tengah dihadapi oleh pemerintahan Jokowi. (sumber : capture berita vivanews.co.id)"]
[/caption]