[caption id="attachment_412567" align="aligncenter" width="600" caption="Sumber: ANTARA FOTO/AACC2015/Rosa Panggabean"][/caption]
Puncak perayaan dari rangkaian peringatan 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) baru saja usai. Indonesia sebagai tuan rumah telah kembali dianggap sukses mengadakan perhelatan besar berskala dunia tersebut. Melalui tema “Penguatan Kerjasama Selatan-Selatan dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan dan Perdamaian Dunia”, KAA diharapkan dapat menciptakan kesetimbangan di tengah ketimpangan struktur ekonomi-politik dunia di antara negara maju di Utara dan negara berkembang di Selatan demi terciptanya tata dunia yang lebih adil.
Dalam lintasan sejarahnya, KAA mengusung spirit kemandirian (kedaulatan penuh) di antara bangsa-bangsa bekas koloni di Asia dan Afrika. Karena hanya melalui kemandirian Asia dan Afrika, harapan bagi tata dunia yang lebih adil dapat benar-benar terwujud.
Namun, sejauh ini apakah spirit kemandirian Asia dan Afrika untuk menciptakan kesetimbangan dunia tersebut memang telah tercapai? Atau sebaliknya, hanya sekedar menjadi jargon dalam sebuah retorika perhelatan semata? Mari kita cermati dalam uraian berikut.
Meninjau kembali latar belakang KAA 1955.
KAA diselenggarakan pertama kali pada tahun 1955. Pada saat itu negara-negara di Asia dan Afrika yang baru dan akan merdeka dihadapkan dengan beragam wacana krusial, di antaranya isu tentang agenda kolonialisme gaya baru (penjajahan modern dalam bidang ekonomi) dan perang dingin antara Blok Barat dan Timur yang dikhawatirkan akan menghambat terciptanya kedaulatan penuh di Asia dan Afrika. Berangkat dari hal ini, timbul kesadaran untuk dapat membangun persatuan dan kerjasama di antara negara-negara Asia dan Afrika. Persatuan dan kerjasama ini ditujukan untuk menggelorakan semangat kemandirian untuk bisa memutus rantai kolonialisme gaya baru (menahan dominasi ekonomi industri Barat) dan melepas pengaruh perang dingin (menolak menjadi subordinat bagi kekuatan Blok Barat dan Timur). Semangat ini, di samping semangat kemerdekaan politik bagi negara-negara yang belum merdeka, yang telah menjadi dasar utama diselenggarakannya KAA. Semangat yang kemudian dicetuskan dalam Bandung Spirit inilah yang menjiwai lahirnya rumusan Dasasila Bandung.
Meskipun tergolong ke dalam negara dunia ke tiga yang masih terbelakang, negara-negara Asia dan Afrika di Selatan memiliki daya tawar yang kuat sebagai pendukung utama rantai kemajuan industri negara maju di Utara dalam hal penyedia sumber bahan baku dan pasar. Hal ini yang menjadi faktor kekuatan bagi negara-negara peserta KAA untuk bisa membangun gerakan Non Blok, sebuah gerakan yang mendukung kemandirian untuk bisa terlepas dari kekuatan imperialisme Barat dan Uni Sovyet.
KAA pertama di Indonesia telah meletakkan dasar persatuan di antara negara-negara Asia dan Afrika. Maka, agenda selanjutnya adalah benar-benar membangun kekuatan baru di Asia dan Afrika untuk menantang dominasi ekonomi Barat dengan membangun kemandirian industri di kawasan Asia dan Afrika sendiri.
Sayangnya, tidak semua orang mengetahui jika KAA ke dua yang rencananya akan diselenggarakan di Aljazair batal dilaksanakan dan tidak pernah terjadi hingga sekarang karena adanya gesekan dari berbagai kepentingan. Akhirnya, di paruh ke dua abad ke 20 hingga memasuki abad ke 21 ini, kekuatan persatuan dan kerjasama ekonomi Asia dan Afrika untuk melawan dominasi Barat tidak pernah dapat terwujud. Spirit kemandiriannya semakin pudar seiring dengan matinya putaran konferensi tersebut.
KAA 2005. Peringatan untuk kerjasama baru di abad ke-21.
50 tahun kemudian, untuk memperingati KAA dan menghidupkan kembali memori kolektif tentang persatuan dan kerja sama Asia dan Afrika, acara KAA kembali digelar di Indonesia. Dalam konteks ini, konstelasi politik dunia telah jauh berubah. Perang dingin sudah berakhir dengan memunculkan ideologi kapitalis-industri Barat sebagai satu-satunya kekuatan dunia. Kemenangan pihak barat ini juga telah mendorong sistem tata ekonomi yang mendorong kesaling-tergantungan dunia yang berbasis pada mekanisme liberalisasi dan pasar bebas. Sistem ekonomi yang kemudian –dalam kenyataannya- malah semakin memapankan ketimpangan struktural di antara negara industri maju dan negara berkembang.
Sementara isu tentang kolonialisme gaya baru sudah semakin tidak populer, di sisi lain isu di luar konteks ekonomi-politik muncul semakin kuat. Kita bisa mencermati hal ini dalam perkembangan gagasan yang dihasilkan dari pertemuan KAA 2005 yang disebut dengan the New Asian-African Strategic Partnership (NAASP). Persetujuan NAASP terangkum ke dalam delapan area fokus, yakni wacana tentang; terorisme; organisasi kriminal trans-nasional; ketahanan pangan; ketahanan energi; usaha kecil dan menengah; pariwisata; jaringan pengembangan universitas; persamaan gender, dan; pemberdayaan perempuan. Dalam area fokus tersebut, kita bisa melihat bahwa wacana ekonomi-politik kontemporer seperti realitas ketimpangan struktural Utara-Selatan (dominasi teknologi, proteksi, eksploitasi bahan baku-pasar-tenaga kerja, dsb) sudah tidak lagi menjadi fokus perhatian yang utama dalam konferensi tersebut.
KAA 2015. Sebuah retorika baru.
Di tahun ini, Indonesia kembali menginisiasi sebuah konferensi tingkat tinggi untuk memperingati 60 tahun diselenggarakannya KAA. Pertemuan yang diikuti oleh delegasi dari 109 negara peserta dan 16 negara pengamat ini kemudian menghasilkan tiga dokumen penting, yakni: Bandung Message, Reinvigorating NAASP, dan Declaration of Palestine.
Diskusi Bandung Message fokus pada dialog di seputar politik, ekonomi, dan sosial-budaya kontemporer yang poin-poinnya kembali diakselerasikan dengan NAASP. Sedangkan dalam agenda revitalisasi NAASP, NAASP sendiri telah direview perkembangannya dalam 10 tahun terakhir setelah pertemuan di tahun 2005. Selanjutnya diskusi untuk deklarasi Palestina ditujukan untuk menegaskan dukungan negara Asia dan Afrika untuk kemerdekaan politik Palestina.
KAA 2015 yang mengusung tema kerjasama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan perdamaian dunia, kini kembali diarahkan untuk mempromosikan semangat persatuan dan kerjasama di Asia dan Afrika untuk bisa membangun kekuatan ekonomi mandiri dalam rangka menantang dominasi ekonomi Barat. Upaya ini tercermin dalam pidato pembukaan KAA oleh Presiden Jokowi yang mulai menyerukan penguatan kerjasama wilayah untuk menantang lembaga keuangan internasional seperti IMF, WTO, dan World Bank. Dalam kesempatan ini, Jokowi juga mengkritik peran PBB yang dianggap kurang optimal untuk mendukung tatanan dunia yang lebih adil. Namun, pidato ini –meski sempat dikecam kalangan ekonom di Amerika karena mulai mengusik kepentingannya- dinilai banyak pihak hanya sebagai sebuah retorika politik untuk meriuhkan acara. Karena kenyataannya, tidak pernah ada perbincangan khusus dalam konteks multilateral untuk langkah yang lebih konkret dan operasional untuk wacana ini. Juga di sisi lain, dalam prakteknya keran investasi dan pinjaman luar negeri yang memapankan ketergantungan ekonomi negara masih dibuka lebar di Indonesia.
Teramati negara-negara di Asia dan Afrika masih terjebak oleh kepentingan nasionalnya masing-masing untuk memajukan negaranya sendiri. Sebagian negara akhirnya muncul sebagai negara industri maju yang berdampingan dengan Barat, sedangkan sebagiannya yang lain masih terjerat dalam kolonialisme gaya baru dengan hanya menjadi lahan eksploitasi bagi negara-negara industri maju.
Kesimpulan: Melirik sisi lain dari euforia perhelatan besar.
Sementara riuh perhelatan KAA menggiring opini publik pada jargon-jargon kerjasama, solidaritas, parade, festival, dan beragam kegiatan seremoni lainnya, ketimpangan struktural di dunia antara negara-negara Utara dan Selatan terus terjadi. Bagi Indonesia sendiri, KAA hanya menjadi ajang lobi-lobi kerjasama bilateral dan multilateral dalam bidang-bidang yang bersifat parsial dengan negara-negara tertentu. Sementara di sisi lain, proyek besar Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I) yang sedang berjalan telah semakin mengintegrasikan Indonesia ke dalam pasar bebas dunia yang hanya menugaskan Indonesia dan negara-negara Asia dan Afrika yang lain sebagai koridor ekonomi pemasok, perakit, dan pengonsumsi kebutuhan industri negara maju.
Lalu, apakah masih relevan membicarakan kemungkinan negara-negara di Asia dan Afrika bisa benar-benar menyatukan kekuatan untuk mewujudkan cita-cita kemandiriannya? Ironisnya pertanyaan ini seakan terjawab dengan adanya Kerjasama “Komunitas Negara Amerika Latin dan Karibia” yang telah sukses mempromosikan spirit kemandirian dan dengan percaya dirinya berhasil menantang hegemoni ekonomi Barat.
Sulit dipungkiri jika Indonesia dan sebagian besar negara-negara Asia dan Afrika yang lain masih bergantung secara ekonomi kepada negara industri maju. Kita masih membuka kekayaan alam untuk dieksploitasi, memasok bahan baku industri, meminta modal untuk investasi, menyediakan tenaga kerja murah untuk dieksploitasi, dan kemudian menyediakan pasar untuk menyerap komoditas hasil industri itu sendiri. Sebuah rangkaian proses Industri yang dalam siklus modal dan provitnya terus mengalir kembali kepada negara-negara industri maju.
Sayang, sementara setelah perhelatan KAA yang besar nan meriah ini usai, Asia dan Afrika masih tetap lemah dan tak cukup berani untuk melakukan perubahan secara mendasar dengan membangun kemandirian untuk mengambil alih siklus industri ke dalam tangannya sendiri. Banyak pihak yang menutup mata, jika memang di tahun 1955 kemampuan modal dan teknologi di Asia dan Afrika dianggap masih belum memadai, maka di tahun 2015 ini sesungguhnya Asia dan Afrika sudah jauh lebih mampu untuk dapat mulai membangun kekuatan industri regionalnya sendiri.
Sejak awal dicetuskannya KAA, gagasan persatuan dan kerjasama seluruh negara di Asia dan Afrika adalah kunci, seperti yang dikatakan Sukarno dalam pidato pembukaan KAA di tahun 1955 bahwa Asia and Africa can prosper only when they are united, and that even the savety of the world at large cannot be safeguard without a united Asia-Africa.
Jika kita mencermati siklus dua pertemuan terakhir peringatan KAA, terlihat bahwa inisiatif penyelenggaraannya hanya ada di pihak Indonesia sebagai tuan rumah. Tidak pernah ada komitmen bersama untuk mengagendakan putaran konferensi ini secara berkala seperti yang digagas pada awal pembentukannya. Hal ini mencerminkan jika negara-negara di Asia dan Afrika tidak benar-benar memiliki ambisi untuk bisa mengampanyekan persatuan dan kerjasama demi kemandirian di Asia dan Afrika seperti yang sedang kita cermati dalam tulisan ini.
Sepertinya bangsa Indonesia harus menunggu saya untuk maju menjadi presiden di tahun 2034. Untuk kemudian, acara peringatan 80 tahun KAA di tahun 2035 dapat kita jadikan sebagai momentum bagi kebangkitan kekuatan Asia dan Afrika yang baru. Momentum untuk menggelorakan api semangat kemandirian yang benar-benar kita telurkan dalam langkah konkret dan operasional. Sebuah momentum untuk menantang kedigdayaan ekonomi industri Barat yang sudah semakin tua dan rapuh. Dukung dan tunggu saatnya kita akan benar-benar bisa mandiri. Berdikari, berdiri di atas kaki kita sendiri.
Wallahu a’lam bishawab.
iuhh..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H