Lihat ke Halaman Asli

Momentum KAA dan Keruntuhan Ekonomi Barat

Diperbarui: 29 Maret 2017   05:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13984014792073746662



Kalau Konferensi AA yang ke dua terjadi di Aljazair…,

maka lonceng kematian imperialisme, berbunyi.

Sukarno___

Perayaan untuk memperingati acara Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang ke-59 tahun baru saja usai. Sebelumnya berbagai kegiatan yang menarik telah diselenggarakan untuk dapat meramaikan perayaan tersebut. Kini setelah upacara penutupan dengan prosesi penurunan bendera-bendera negara selesai dilakukan, semuanya telah nampak kembali sunyi. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Soal spirit acara ini, spirit yang justru sejak dari awal telah membuat Konferensi ini gagal dilakukan untuk ke dua kalinya.

KAA diselenggarakan oleh Indonesia dalam sebuah kepanitiaan bersama di antara negara-negara sahabat. Acara ini diadakan untuk dapat mempererat tali persaudaraan di antara negara-negara Asia dan Afrika yang baru dan akan merdeka dari cengkeraman kolonialisme Barat di pertengahan abad ke-20. Sekitar 24 negara akhirnya ikut berpartisipasi dalam perhelatan besar ini. Di mana kemudian negara-negara tersebut menjadi cikal bakal himpunan negara dunia ke-3 yang menjadi blok netral (Non-Blok) di tengah setting perang dingin pada masa itu.

Di tengah kemunculan ide Non-Blok ini, Sukarno -sebagai salah satu pemimpin dunia yang cukup disegani pada masanya- kemudian mulai mengkampanyekan spirit pelengkap yang menggenapi semangat persatuan Asia dan Afrika, yakni ide tentang kemandirian bangsa, atau yang secara populer dikenal dengan sebutan Berdikari (Berdiri di Atas Kaki Sendiri).

Dalam pidato Internasionalnya, Sukarno mengungkapkan bahwa “The crowning of independence, is not a membership of the United Nation, but the ability to stand on our own feet!”. Bahwa kemerdekaan yang sejati bukanlah semata-mata karena sebuah negara telah berstatus menjadi anggota PBB, tapi soal bagaimana sebuah negara itu mampu untuk dapat hidup mandiri, berdiri di atas kakinya sendiri. Kampanye ini sejalan dengan semangat Swadeshi dari Mahatma Gandhi yang mengajarkan bahwa setiap bangsa harus dapat mengolah dan mengembangkan kekayaan alamnya sendiri, dengan tidak mengandalkan barang-barang buatan luar negeri.

Inilah spirit utama dari KAA, persatuan dan kemandirian. Spirit yang terutama telah mengancam eksistensi Blok Barat (Kapitalis) yang menghimpun negara-negara industri maju. Karena taraf tertentu kemajuan industri mensyaratkan adanya sebuah wilayah baru yang dependen untuk dapat mengalihkan kontradiksi pokok internalnya, yakni monopoli dan overproduksi. Selain kenyataan bahwa kemapanan ekonomi Barat membutuhkan pasokan sumber daya bahan baku dan pasar yang berlimpah untuk menghidupkan industri mereka.

Sayang, dalam perkembangannya ide Berdikari beserta perhelatan besar yang mewadahinya ini batal untuk berlanjut. Memudar dan kemudian menghilang sejalan dengan semakin kuatnya hegemoni Barat terhadap dinamika perkembangan intern negara dunia ke-3. Desakan hegemoni yang membawa kepentingan Barat ini telah menggiring munculnya rezim-rezim yang memfasilitasi sekumpulan birokrat pro-Barat di dunia ke-3. Di Indonesia, fenomena ini terjadi dengan munculnya rezim Orde Baru.

Atas nama liberalisme, rezim-rezim korup di dunia ke-3 ini kemudian mulai mendukung Teori Pembagian Kerja secara Internasional (International Division of Labour) yang telah membawa kesenjangan struktural di antara negara-negara industri dan agraris. Analisis terhadap hal ini kemudian dijelaskan dalam Teori Modernisasi, Ketergantungan, dan Pasca Ketergantungan.

Semakin jauh, kini sistem ekonomi interdependen terus digelorakan dalam berbagai bentuk pembaruannya. Pemerintah Indonesia dengan Proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI), bahkan mulai mencoba untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem ekonomi bebas dunia. Sebuah proyek ambisius yang disinyalir hanya akan memulai babak baru bagi terciptanya kesaling-tergantungan dunia yang sejak awal sudah tidak berimbang.

Sungguh sebuah paradoks yang menyedihkan, apabila perayaan acara KAA yang hingga tahun ini selalu diadakan dengan cukup meriah, harus berlangsung tanpa spirit yang menggelora di antara bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Bisa dibayangkan apabila bangsa-bangsa ini dapat kembali bersatu menentang supremasi ekonomi dan politik Barat, kemajuan ekonomi barat yang kini tangguh berdiri akan segera runtuh seperti runtuhnya pohon parasit dari sebuah pohon induk yang lebih besar.

Kita coba lihat kembali pernyataan Presiden Sukarno di muka tulisan ini secara lengkap: “Kalau Konferensi AA yang ke dua terjadi di Aljazair, dan di sana Indonesia menganjurkan Berdikari! Berdikari! Berdikari!, kepada seluruh rakyat-rakyat di Asia dan Afrika, aku berkata bahwa: Lonceng kematian Imperialisme, berbunyi...”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline