"halah, kamu itu lo masih kecil, apa sih masalahmu?"
"tugasmu kan cuma belajar"
Menganggap bahwa anak-anak menjalani hidup yang lebih mudah dari orang dewasa, dan menganggap bahwa hanya orang dewasa yang berhak mengeluh, menjadi alasan pertama mengapa anak cenderung menutup diri dari orangtua. Padahal sudah seharusnya orangtualah yang menjadi tempat pertama bagi anak untuk membagikan segala kisahnya sehingga orangtua tahu bagaimana perkembangan psikologis dan sosial anaknya.
Tidak jarang terjadi kasus tiba-tiba orangtua terkejut dengan kasus yang terjadi pada anaknya, padahal orangtua menganggap anaknya baik-baik saja karena mereka merasa sudah memberikan kebutuhan finansial dan pendidikan yang cukup.
"Selama ini saya melihat anak saya tidak pernah macam-macam"
Begitulah kalimat yang diucapkan seorang Ibu ketika mengetahui anaknya diam-diam melakukan kesalahan yang tidak pernah beliau duga karena merasa segalanya baik-baik saja saat di dalam radar pengawasan sang Ibu. Padahal, anak lebih pandai mencari celah untuk keluar dan mengakali bagaimana Ibunya akan menganggap itu aman. Sehingga lahirlah istilah strict parents raise the best liars, seperti seorang hacker yang mencari celah untuk mengakali sistem, anak juga akan semakin pandai mencari celah untuk mengekspresikan dirinya yang tertahan.
Memarahi anak ketika melakukan kesalahan, juga menjadi alasan anak memilih untuk hanya menunjukkan sisi baik dari dirinya. Menampilkan diri sebagai anak idaman orangtuanya, dan menyembunyikan kesalahan yang telah diperbuat. Justru ketika dia memilih menyembunyikannya, kemudian anak tidak mempelajari sesuatu dari kesalahannya.
Misal ketika anak dalam masa pubertas mulai mengenal dan tertarik dengan lawan jenis. Ketika orangtua menganggap hal tersebut merupakan hal berbahaya untuk anak dan akan merusak fokus anak dalam belajar. Keputusan untuk memarahi dan menyabotase anak akan membuat anak merasa tidak diterima dan disalahkan. Sehingga anak tidak memahami maksud dibalik amarah orangtua.
Akan lebih baik ketika orangtua mengajarkan pada anak bahwa anak akan menghadapi masa pubertas dan tertarik ke lawan jenis, mengkomunikasikan dengan baik tentang sebab akibat jika anak memilih pacaran dengan lawan jenis. Menyampaikan dengan tenang dan mudah dipahami anak bagaimana menghadapi fase itu dengan bijak.
Validasi perasaan anak, itulah yang sering digembor-gemborkan oleh para psikolog. Ketika anak memilih bercerita, mengekspresikan diri, atau apapun itu, hal pertama yang perlu dilakukan orangtua adalah menenangkan diri dan memvalidasi apa yang terjadi pada anak. Akui bahwa apa yang dirasakan anak itu benar, segala perasaan memang valid. Ajarkan dan jelaskan mengapa mereka merasakan hal tersebut dan bagaimana menghadapinya.
Kebutuhan utama manusia adalah untuk diterima. Penerimaan tersebut yang membuat anak merasa memiliki rumah untuk singgah, dan sudah seharusnya rumah tersebut adalah orangtua. Sangat disayangkan ketika seorang anak lebih terbuka pada teman, terutama teman sebaya yang belum bisa dipastikan saran dan keputusannya lebih bijak. Orangtua yang telah mengalami pahit, asam manis kehidupan dan mengambil hikmah dari segala masalah dapat menjadi problem solver terbaik untuk anak.