Lihat ke Halaman Asli

Surat untuk Lilyana

Diperbarui: 25 Agustus 2016   10:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hai, Ka butet… Apa kabar? Masih terasa euforia keberhasilan Ka Butet dan Bang Owi mendapat medali emas di Olimpiade Rio yang bertepatan dengan hari kemerdekaan Indonesia. Saya senang tapi juga bimbang… Itu merupakan medali emas pertama di olimpiade  yang berhasil Ka butet raih, dan akan menjadi medali emas olimpeade satu-satunya, karena empat tahun yang akan datang, 2020, Ka Butet tidak lagi menjadi peserta olimpiade. Itu artinya saya tidak akan pernah mewawancarai Ka Butet sebagai peserta olimpiade. Ya, mewawancarai…

Sedikit bercerita, saya mahasiswa yang baru saja menyelesaikan pendidikan jurnalistik disalah satu kampus di Jakarta. Saya ingin menjadi wartawan sejak kelas 2 SMP. Alasannya sederhana, karena ibu saya tidak mengizinkan saya menjadi atlet bulutangkis. Sempat frustrasi, tapi akhirnya saya memutuskan untuk menjadi wartawan. Karena walaupun saya tidak menjadi atlet yang membawa nama bangsa Indonesia, tapi paling tidak saya bisa menyaksikan atlet-atlet Indonesia berjuang bahkan mewawancarai mereka. Dan salah satu atlet yang mendorong saya ingin menjadi wartawan, karena keinginan kuat saya untuk mewawancarainya, merupakan Lilyana Natsir.

Sudah sewindu, sejak saya pertama kali menyukai bulutangkis, sejak pertandingan piala Uber-Thomas di Jakarta, Mei 2008. Meski Indonesia tidak meraih piala Uber atau pun Thomas tapi euforia kegembiraan terhadap bulutangkis terus saya rasakan. Hingga pertengahan Juni 2008 Indonesian open digelar. Ka Butet masuk final bersama Vita Marissa melawan ganda putri pasangan Tiongkok atau Korea atau Jepang (saya lupa).

Pada pertandingan final itu sejak awal pertandingan ka Butet dan Tante Vita memang sudah unggul tidak terlalu sulit menaklukan lawan tapi tetap terlihat bekerja keras untuk menyumbangkan medali emas. Sampai-sampai, di tengah pertandingan,  ka Butet terkena “sabetan” kok yang di smash pemain lawan. Saya sangsi, apakah ka Butet masih ingat kejadian itu.

Tapi saya ingat bagaimana ka Butet dan Vita Marissa berdiri di podium paling tinggi melambungkan medali emas dan membuat Indonesia raya berkumandang. Sejak itu saya semakin yakin untuk menjadi atlet bulutangkis. Dan makin tergila-gila dengan bulutangkis. Sampai-sampai ketika sedang main di rumah tetangga saya melihat tumpukan Koran dengan banyak berita pertandingan piala Uber/Thomas dan Indonesian open, saya segera izin meminta koran-koran itu dengan alasan untuk tugas sekolah (padahal hanya karena headline-nya rata-rata berita bulutangkis). Agak konyol, tapi saya senang ketika itu.

Dua bulan kemudian, olimpiade Beijing, Tiongkok, Agustus 2008. Ka Butet kembali bertanding, dua nomor sekaligus. Ganda putri bersama Vita Marissa dan ganda campuran berpasangan dengan Nova Widianto. Hampir setiap hari saya selalu mencari perkembangan berita mengenai atlet bulutangkis Indonesia di Beijing.

Tidak selalu pertandingan disiarkan televisi. Hingga berita sampai ditanah air kalau dua pasangan ganda Indonesia berhasil masuk final, Kido/Hendra dan Ka Butet/Nova Widianto. Juga Maria Kristin yang meski tersingkir di semifinal tapi masih mempunyai harapan dalam pertandingan perebutan medali perunggu melawan Lu Lan dari Tiongkok.

Dan akhirnya, bulutangkis mempersembahkan satu set medali untuk Indonesia yang ketika itu pun berdekatan dengan hari kemerdekaan RI. Perunggu dari Maria Kristin, si perempuan tangguh yang meski pun tiap saya menonton ia bertanding lebih sering kalah tapi saya merasa  Ka Maria selalu bermain dengan sepenuh hati. Medali perak ka Butet raih bersama Nova Widianto. Medali pertama Ka Butet di olimpiade yang diperjuangkan dengan susah payah dalam dua set. Dan medali emas didapat Kido/Hendra sehari sebelum HUT RI. Indonesia Raya berkumandang di ibukota negeri Tirai bambu, seakan perayaan hari kemerdekaan tak perlu ditunda-tunda. Memang itu olimpiade sewindu lalu, tapi rasanya sukar dan enggan untuk saya lupakan.

Sejak itu pertandingan bulutangkis kembali jarang ditayangkan. Kabar Ka Butet menjadi juara di berbagai pertandingan pun saya dapat dari surat kabar. Semakin jarang… semakin jarang… hingga hampir tidak pernah sama sekali. Namun keinginan untuk menjadi atlet bulutangkis masih tetap ada. Salah satu keinginan terkuat ingin menjadi atlet bulutangkis karena saya ingin dilatih oleh Ka Butet dan bertanding di olimpiade. Tapi, saya tidak pernah memperkirakan kalau ibu saya tidak mengizinkan saya menjadi atlet bulutangkis.

Bersyukur, Tuhan memberi jalan keluar, saya pikir menjadi jurnalis olahraga bisa membuat saya sesering mungkin meliput pertandingan bulutangkis dan mewawancarai Ka butet. Walau pun sudah saya prediksi sebelumnya, ketika saya telah menjadi wartawan professional kemungkinan besar Ka Butet sudah pensiun, tapi saya berdoa paling tidak saya bisa mewawancari Ka Butet sebagai pelatih.

17 Agustus 2016, tepat dihari kemerdekaan RI, setelah cukup lama tidak menyaksikan Ka Butet di lapangan, final ganda campuran olimpiade Rio disiarkan. Di Indonesia bagian barat pukul 23.00, Ka butet dan Tontowi beraksi. Dan sialnya, saya ketiduran! Ketika bangun, pertandingan sudah selesai dan saya tahu, Ka Butet dan Tontowi berhasil! Bulutangkis mengembalikan sejarah emas di olimpiade. Senang tak tehingga, tapi saya memilih tidur kembali tak menunggu penyerahan medali. Saya kesal, kenapa harus ketiduran!? Padahal itu pertandingan terakhir Ka Butet di Olimpiade, yang sering disebut media-media sebagai sweet ending..

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline