Jakarta, Perpustakaan Nasional, 6 September 2014
Ketiga kalinya saya ke Perpustakaan Nasional dalam dua minggu. Tempat favorit saya adalah koran langka. Kali ini membaca Pikiran Rakjat edisi 20 Desember 1956, sebuah artikel menceritakan penculikan terhadap Oto Iskandar Di Nata . Ceritanya antara 10 hingga 15 Desember 1945 Oto didatangi beberapa pemuda dari pasukan hitam di rumahnya ketika sedang berbicara dengan Sanusi Hardjadinata.
Tidak jelas, mengapa Oto menurut dan ternyata para pemuda ini membawa Oto ke penjara Tanah Tinggi. Pada 15 Desember dia dipindahkan lagi ke Mauk. Di sini petaka dimulai, lima hari kemudian sutau gerombolan dipimpin Mudji Taba mengambil Oto. Menurut saksi mata Djumidi dan anaknya umur 9 tahun mereka ada di Kampung Ketapang. Saat itu Mujitaba membacok Oto dari belakang dengan parang dan membuangnya ke laut.
"Kisah yang mengerikan! Apa salah Oto? Tuduhan menjual Bandung kepada sekutu tidak terbukti," ujar Gendis. "Tuduhan ngawur itu! Tuduhan keblinger! Oto itu orang yang setia pada Indonesia."
Kami memang janjian ke perpustakaan nasional. Aku suka sama Gendis sudah bisa bersikap meski latar belakang pendidikannya bkan sejarah. Mungkin dia dulu aktivis NGO di Yogyakarta
"Saya sendiri belum menemukan sumber yang menjelaskan siapa yang menyuruh membunuh Oto. Pengadilan pada 1950-an hanya menyeret Mujitaba. Peristiwa itu hanya salah satu peristiwa yang menjadi misteri dalam sejarah Republik ini," ucapku.
Gendis membaca catatan tanganku dengan cermat. Aku mencatat keluarnya berita Oto pada 1956,. Buknakah pada tahun itu terjadi keresahan di daerah terhadap pusat, termasuk juga di Jawa Barat dengan gerakan protes Front Pemuda Sunda yang merasa adanya kepincangan dan ketidakadilan, pecahnya Dwi Tunggal Sukarno-Hatta. Gubernur Jawa Barat Sanusi Hardjadinata berpidato di RRI Jawa Barat menjelang tahun baru 1957, bahwa Tahun 1956 tahun yang suram bagi politik Indonesia.
Aku ingin tahu kelanjutan cerita perempuan bernama Widy itu ketika dia diizinkan suaminya melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Padjadjaran. Pola pikir suaminya sudah cukup maju, karena presentase perempuan yang kuliah masa itu tidak terlalu besar. Suaminya setuju tidak punya anak dulu, setidaknya sampai Widy menjadi sarjana muda. Lagipula masih tegrolong muda.
""Aku belum baca keseluruhan catatan mereka berdua. yang saya buka baru sampai akhir 1957. Isinya ya, mereka pacaran saja, tidak terlalu peduli politik. Syafri menghabiskan banyak tabungannya agar Widi bisa kuliah." Gendis seperti membaca pikiranku.
"Dari cerita kamu sepertinya Syafri masih percaya pada Sukarno, Widy-nya bagaimana?"