Lutung Kasarung adalah film bertema tradisi dan kearifan lokal yang tiga kali diangkat ke layar lebar sepanjang sejarah, kerap ditampilkan dalam pertunjukan panggung dari masa ke masa, bahkan menjadi budaya pop dalam bentuk drama musikal dan iklan.
Bukankah film pertama Indonesia bertemakan tradisi adalah Loetoeng Kasaroeng (ejaan lama dari lutung Kasarung)? Film bisu ini dirilis oleh NV Film Java Company dengan sutradara L. Heuveldorp G. Kruger di Bandung pada 31 Desember 1926. Film ini diputar di Elita hingga 6 Januari 1927.
Mungkin alasan pertama dipilihnya karena cerita rakyat dari tanah Priangan sudah populer masa itu. Buktinya iklan di Preanger Bode 9 Mei 1912, penerbit buku terkemuka G. Kolff & Ce di Bandung menyebutkan telah menerbitkan Loetoeng Kasaroeng, Tjioeng Wanara dan Nyai Soemoer (sumber lain Nyi Sormoer Bandoeng, Nyi Sumur)
Kedua, sebelum pembuatan film Loetoeng Kasaroeng sudah dibuat pertunjukkan panggung pada 1921 oleh Bupati Bandung Wiranatakusumah dengan gending karesmen dengan dialog-dialog seperti musik tetabuhan termasuk menggunakan alat musik kecapi.
Robbie Widjaja dalam artikelnya bertajuk "Lutung Kasarung" di "Mimbar Indonesia" edisi 8, 21 Februari 1953 Pertunjukkan sandiwara terbuka di halaman Kabupaten Bandung boleh dibilang kolosal pada zamannya diadakan di tiga panggung dan melibatkan 150 orang hingga bisa berlangsung dengan durasi non stop.
Bagi sebagian orang Belanda Loetoeng Kasaroeng dan juga sejumlah rakyat tanah Sunda sebangun dengan mitologi Yunani yang ditulis oleh pujangga Yunani klasik, Homer, hingga menterjemahkan saja dari tradisi lisan bahasa Sunda ke bahasa Belanda dilakukan dengan hati-hati. Hal itu dikatakan dalam iklan di Het Nieuws van den dag Vorr Nederlandsch Indie 19 Desember 1935.
Iklan di harian de Locomotief 14 Februari 1927 menyebut setelah di Bandung film ini diputar di Bioskop Mignon, Cirebon pada 14 hingga 17 Februari 1927. Film Sunda ini juga patut untuk ditonton bagi orang Eropa yang menyukainya.
Review film ini diulas dalam Indische Courant pada 5 Januari 1927. Ceritanya seorang anak muda dewa berani memasuki kuil ibunya dan ditakdirkan untuk hidup di bumi sebagai lutung.
Kemudian dia menjadikan dirinya berguna dengan membantu rakyat menanam padi. Setelah menyelesaikan tugas ini, dia akan menemukan wanita idamannya di antara manusia dan kemudian mendapatkan kembali statusnya sebagai putra dewa.
Jelas menurut sejumlah review masa itu film ini dari tradisi pra Islam dan masuknya budaya menanam padi. Pada waktu itu menanam di huma bukan sawah yang baru muncul belakangan.