Jakarta, Perpustakaan Nasional Salemba, 27 Agustus 2014
"Apa yang Mas suka dari Bandung?" sapa Gendis. Aku tidak terlalu terkejut karena sudah melihat dia datang dari pintu masuk. Cuma ada dia ke perpustakaan nasional. Bukannya harusnya ketemuan di Bandung? Mungkin kebetulan.
Aku sendiri sedang membaca sebuah majalah terbitan 1954 di Perpustakaan Nasional.
Aku menoleh perempuan tomboy yang mendadak jadi feminin dengan rambut dipotong sebahu dengan cat pirang. Apa yang membuatnya kemari?
"Aku ingin membuat sebuah rekonstruksi bagaimana sebuah kota yang tadinya indah, namun runtuh justru karena daya tariknya sendiri. Bandung adalah kota wisata karena keindahannya sekaligus kota pelajar yang kelak membuatnya menjadi kreatif dengan aneka macam kuliner dan produk kerajinan begitu bajunya."
"Yogya juga kota pelajar? Ah, Mas Irvan juga tertarik sama gadis-gadis Bandung yang geulis, Yogya juga perempuannya ayu-ayu dan untuk wisata juga asyik?" cetus Gendis.
Skak mat. Perempuan ini pintar.
"Apa lagi nih yang Mas suka dari Bandung?"
"Bandung memang indah sampai saat ini. Tapi saya khawatir keindahan itu runtuh karena keserakahan yang sangat eksploitatif. Padahal kalau pohon-pohon sampai berkurang dan ekologi runtuh, maka tidak ada lagi Bandung yang indah."
"Kini kan Bandung dipimpin alumni ITB, arsitek lagi?"