Perempuan Jadi Kepala Daerah Hal biasa. Rata-rata Pendidikan formal yang baik. Jawa Timur Menarik, Pertarungan Politisi dengan Teknokrat
Bagi saya perempuan maju menjadi kepala daerah pada Pilkada 2024 bukan hal yang luar biasa. Bukankah hal ini kerap terjadi pasca reformasi 1998? Bahkan sebelum itu sudah ada Kepala Daerah Perempuan.
Saya pernah menulis Agustine (Tienne) Magdalena Woworuntu pernah memimpin Kota Manado akhir 1949 hingga akhir Maret 1951. Pemerintahan tidak terlalu panjang, namun perempuan kelahiran 1899 memimpun Manado masa yang sulit.
Dia menghadapi tantangan berat pasca revolusi, seperti pemulangan tentara KNIL hingga masalah ekonomi daerah yang terlalu bergantung pada kopra. Penduduk Manado waktu itu sekira 53 ribu sebagian besar tinggal di gubuk-gubuk berdinding bambu dan atapnya alang-alang.
Baca: Wali Kota Wanita Pertama Indonesia di Manado.
Kota Pontianak juga diperintah oleh perempuan bernama Rohana Muthalib pada 1950-1953. Dia juga menghadapi permasalahan sosial, seperti buruh menuntut kenaikan gaji, sampah dan infrastruktur.
Kedua perempuan itu mempunyai latar belakang pendidikan dan sosial yang cukup untuk masa itu memimpin. Tienne adalah putri dari anggota Volksraad, Lasut Woworuntu dan Rohana Muthalib ahli kecantikan didikan Belanda.
Bahwa mereka menghadapi tantangan iya, tetapi bukan karena mereka perempuan. Tetapi cara mereka menangani masalah sosial dan politik tidak memuaskan beberapa pihak.
Hanya saja, saya mencabut Kota Manado maupun Kota Pontianak tidak lagi pernah dipimpin oleh perempuan.
Setelah reformasi Kabupaten Karawang juga pernah dipimpin perempuan, yaitu Cellica Nurachadiana periode 2016-2020 dan 2021-2023. Pendidikannya Fakultas Kedokteran Universitas Maranatha, Bandung dan Magister Hukum Kesehatan Universitas Soegiapranata.