Gedung DPRD Bandung, 16 Mei 1957
"Widy! Anjeun mau ke mana? Bukankah jadwal anjeun mengajar menari besok?" tanya Syafri yang bersiap mengendarai sepeda motor Rikuo Type 97 dengan tujuan Ciwidey untuk ambil sayuran dan buah-buahan milik perkebunan pamannya . Dia terperanjat melihat istrinya memakai rok panjang dan kemeja serba putih.
"Nggak aku mau bertemu Ibu Sutarsih Rahman yang bersama anggota parlemen lainnya mengajukan resolusi perkawinan. Aku ingin mengadukan bahwa di Cianjur ada anak masih usia SMP dijual bapaknya untuk bayar utang?"
"DPRD Provinsi Jawa Barat? Anjeun baca Pikiran Rakjat hari ini ya, empat anggota parlemen perempuan mengajukan resolusi soal perkawinan?"
"Kebetulan. Aku jadi ingat tetanggaku waktu tinggal di Cianjur, namanya Dinni Kartika," ujar Widy. "Aku mau jemput dia dulu di temat kos kawanku Maria di dekat sini," ujar Widy.
"Astaga, kok nggak bilang, Widy suka bikin kejutan, sok aku antar," kata Syafri.
Widy bersorak. Dia tahu Syafri pasti mengantar. Ibunya hanya menggeleng kepala, ketika melihat Widy masuk di kabin samping motor itu sambil memakai helm.
Syafri sebetulnya senang. Sepulangnya Asrul dan Norma, aktivitas Widy hanya mengajar menari dan angklung di sekolahnya dulu dan di sanggar Yayasan Kebudayaan Naripan. Dia tahu bahwa istri peka hal-hal yang terjadi di masyarakat.
"Dia juga nggak bilang Ibu, Syafri!"
Rikuo Type 97 itu langsung menuju tempat kos Maria Jasmine Sameh di kawasan Ganesha, tempatnya kuliah kini, jurusan Teknik Arsitektur.