Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Ancaman Serius Perubahan Iklim pada Pertanian, Adakah Antisipasinya?

Diperbarui: 25 Mei 2024   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi sawah kering-Sumber: https://environment-indonesia.com

Dunia bukan lagi sedang memanas tetapi mendidih.  Perubahan iklim akibat meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) terutama sebagai akibat aktivitas yang menggunakan emisi karbon mendorong naiknya suhu  bumi.  Layanan pemantau iklim Uni Eropa pada Februari 2024 lalu mengingatkan bahwa pemanasan global melampaui 1,5 derajat Celcius, ambang yang disepakati negara-negara dunia yang menandatangani perjanjian Paris 2015.

Sektor pertanian adalah salah satu yang paling terdampak pada perubahan iklim perubahan iklim. Padahal pertanian adalah tulang punggung ketahanan pangan suatu masyarakat.  Runtuhnya pertanian di suatu daerah menyebabkan masyarakat setempat terancma kelaparan.

Yang tidak adil menurut Oxfam, sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan, mereka yang paling tidak bertanggungjawab atas emisi yang menyebabkan  panas terkurung adalah yang paling menanggung akibatnya.  

Oxfam dalam situsnya mencontohkan pada 2022,Ethiopia menderita kekeringan pada 85 persen lahan pertaniannya yang menyebabkan jutaan ternak tewas karena minimnya air dan rumput untuk makanannya.   Petani skala kecil adalah produsen dua pertiga makanan bagi masyarakat Asia dan Afrika Sub-Sahara kelompok paling rentan terhadap dampak pemanasan global ini.

Dampak lainnya ialah tidak bisa diprediksinya musim sehingga para petani tidak lagi bisa menentukan masa tanam dan masa panen bagi tanaman mereka.

Sebuah studi yang dirilis pada Mei 2024 dari Universitas Texas Arlington (UTA), Universitas Nevada serta Virginia Tech mengungkapkan dampak yang juga signifikan ialah  menurunnya produksi serbuk sari dari tanaman dan keanekaragaman tanaman yang menghasilkan serbuk sari.

Penulis utama studi tersebut dan asisten guru besar penelitian biologi  UTA Behnaz Balmaki menyampaikan penelitiannya terkait dengan dampak jangka panjang dari perubahan iklim terhadap produksi serbuk sari.

"Imbasnya ialah pada serangga ketika terjadi perubahan waktu berbunga dan ketersedian makanan akibat cuaca ekstrem," kata Balmaki seperti dikutip dari situs UTA. 

Balmaki  menyatakan tanpa penyerbukan pada tanaman penting berakibat pada  pasokan pangan global akan gagal. Dia berharap studinya  dapat mempengaruhi kebijakan konservasi yang ditargetkan untuk melindungi penyerbuk selama terjadinya pemanasan global.

Tim peneliti mengamati wilayah Great Basin  yang merupakan habitat  sekira 200 spesies kupu-kupu, banyak di antaranya bertindak sebagai penyerbuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline