Menjadi pencandu kopi sejak 2000, membuat saya pertama kali mengenal yang namanya produk saset. Saset yang berisi kopi miks (campuran kopi instan, krim, gula) menjadi solusi mudah bagi saya harus minum kopi 5-6 kali sehari agar bisa "mood" kerja: tinggal buka sasetnya tuangkan ke cangkir lalu seduh dengan air panas dispenser.
Kalau menggunakan kopi bubuk, harus ke dapur kantor, ukur kebutuhan gula, baru pakai air atau ke warung dan kebetulan saya tidak terlalu suka kopi bubuk hitam.
Hingga sekarang saya masih peminum kopi miks saset. Sekalipun saya menyadari sejak dua tahun lalu menggeluti penulisan bidang lingkungan hidup bahwa sampah saset lebih berbahaya dari sampah kantong plastik sekali pakai.
Kawan-kawan saya sudah khawatir akan kecanduan kopi miks itu (sayangnya, kebanyakan bukan mengkritik sampah sasetnya), karena ada efek kesehatan kemungkinan diabetes hingga kopi yang digunakan itu adalah ampas mengapa tidak kopi giling.
"Lalu mengapa Anda kecanduan rokok? Bukankah itu lebih berbahaya bagi kesehatan dan riset tentang dampak rokok termasuk kematian tinggi dan saya tidak menemukan angka kematian karena kecanduan kopi miks," kilah saya.
"Masalah tidak ada solusi untuk masalah seperti Anda dari pihak produsen," kata seorang aktivis lingkungan yang pernah saya tanya soal kecanduan ini. Harusnya produsen yang memberikan solusi bukannya konsumen dan masyarakat.
Situs Plasticdiet mengungkapkan sampah kemasan saset menjadi lebih seriud dan berbahaya bagi lingkungan karena sulit didaur ulang dibandingkan botol plastik atau kantong plastik sekali pakai pun. Kemasan saset cenderung berlapis hingga sulit terurai. Sumber: Plasticdiet
Yang saya tahu botol plastik laku oleh pemulung dan kantong plastik sekali pakai bisa jadi kerajinan. Sasetan bekas kopi dan deterjen pernah dibuat jas hujan oleh sebuah SMA di Jakarta. Namun bisa menyelesaikan masalah? Tidak.
Laporan Greenpeace pada 2020 "Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions", mengungkapkan 855 miliar saset terjual di pasar global. Separuh di antaranya ada Asia Tenggara.
Sejumlah komunitas di berbagai kota di Indonesia berupaya mengurangi sampah plastik dan saset ini yang banyak berada di sungai, seperti yang dilakukan Komunitas Cinta Alam Indonesia (CAI) di Sungai Cipaganti pada 27 April 2024 lalu.