Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Dunia Perempuan dalam "Mereka Bilang Saya Monyet" dan "Perempuan Punya Cerita"

Diperbarui: 22 April 2024   19:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adegan dalam Perempuan Punya Cerita: berlinale-talents.de

Pada Januari 2008 saya menyaksikan dua film  tentang perempuan yang punya nafas feminisme kuat, yaitu Mereka Bilang Saya Monyet" dan "Perempuan Punya Cerita" hanya dalam waktu tiga hari. Untung saya saya mencatat opini saya di catatan harian hingga bisa dipersembahkan untuk tanangan dari komunitas KOMiK.  

Kekuatan kedua film ini ialah karena baik penulis maupun sutradarnya perempuan hingga menyajikan sudut pandang yang kuat untuk menggambarkan ketidakberdayaan perempuan.

Bagi saya membaca kumpulan cerpen karya Djenar Maesa Ayu bertajuk Mereka Bilang Saya Monyet jauh lebih sulit dibanding menonton filmnya bertajuk sama untuk memahami  apa "ideologi" sang sineas.  Kebetulan Djenar adalah sutradaranya sendiri. Ada  tiga catatan yang saya tangkap ketika menonton film ini pada 14 Januari 2008.

Pertama, Djenar bertutur melalui simbol-simbol. Di antaranya, saya menfasirkan lintah adalah lambing laki-laki brengsek perusak hidup tokoh utama film ini, Ajeng.

Lelaki brengsek itu selain mendekati ibunya juga melakukan pelecehan terhadap dirinya yang digambarkan sebagai lintah yang hinggap di paha dan bahunya hingga di bak mandi.

Hidup Ajeng sudah suram sejak awal karena mengalami child abuse sejak kecil. Sang ayah suka selingkuh dan ibunya over protective.

Kedua, lewat film dan juga cerpennya  ini Djenar jelas memproklamirkan sebagai seorang feminis melalui sebuah perdebatan dengan tokoh lelaki, penulis senior, mentornya, yang sudah punya istri.

Lewat sebuah dialog Ajeng mengecam Sang Senior  yang boleh memiliki perempuan lain, tetapi dia tidak memperbolehkan perempuan yang sudah dimilikinya memiliki lelaki lain.

Ketiga, Titi Sjuman berhasil menguak dunia Djenar lewat cerpennya.  Sebuah adegan menarik  ketika Ajeng berada di depan kacasambi mendengar pesan telepon yang memuji cerpennya berjudul Lintah.  Sebetulnya justru hal itu menyayat hatinya.

Djenar bertutur dengan berpindah-pindah antara masa lalu dan masa kini.  Terlihat absurd pada ending cerita: ketika Ajeng dewasa melambaikan tangan dari jendela ke Ajeng kecil  yang hendak naik mobil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline