Sekalipun sudah menjalani perjalanan Backpacker sejak 2010, aku baru paham apa itu turis backpacker pada 6 Mei 2014. Ketika itu saya menginap di hotel backpackeran di kawasan Pasir Kaliki, Bandung.
Penginapan backpacker ini menggunakan sistem dormitory di mana satu kamar terdiri beberapa tempat tidur tingkat dan dihuni 6-8 turis bahkan lebih.
Tarifnya hanya Rp100 ribu per malam waktu itu dan setiap tamu dapat jatah makan pagi dua kerat roti, telur atau meises serta segelas kopi atau teh yang bisa diambil dan dimasak sendiri. Tamu backpacker merasa seperti di rumah sendiri.
Sejak itu saya menyadari bahwa jadi turis backpacker menyenangkan, bahkan bisa membina persahabatan. Misalnya pada 6 Mei itu, saya dapat kenalan namanya Tiffany Zeena, turis asal Kinibalu, Malaysia yang menabung untuk bisa berkeliling Bandung.
Dia tidak sekadar jalan-jalan, tetapi juga belajar tentang Bandung, bukan saja destinasi wisata alam tetapi juga berbelanja di Cihampelas.
Tiffany memilih menyewa mobil orang milik usaha rental di Bandung untuk berkeliling sehari-hari termasuk ketika mengunjungi kawasan Kawah Putih.
Dari sana aku paham sejatinya backpacker, wisata dengan budget yang tidak besar, tetapi efesien. Memilih penginapan seharga Rp100-Rp150 ribu karena hanya untuk tidur, sisanya peliseran dan berburu kuliner murah, tetapi khas kota itu.
Saya dan dua tamu di Hotel Backpackeran, Tiffany Zeena kanan 6 Mei 2014back. Foto: Irvan Sjafari
Mulai 2014 itu, saya selalu menginap di penginapan backpackeran dan selalu menemukan turis asing berkualitas dari Jerman, Belanda, Jepang hingga Amerika Latin. Bahkan ada yang tinggal bulanan.
Yang dapat uang dari turis backpacker baik dari mancanegara maupun nusantara adalah usaha kecil langsung. Mereka seperti saya beli oleh-oleh baik kerajinan maupun kuliner juga UKM khas setempat.