Persoalan uang kuliah perguruan tinggi bukan hal yang baru di Indonesia. Pada awal 1969 di kota Bandung tempat di mana sejumlah perguruan tinggi kondang berada persoalan kenaikan biaya kuliah menjadi isu utama mahasiswa setelah konflik politik akibat peristiwa 1965 mulai mereda.
Pikiran Rakjat 11 Januari 1969 melaporkan hanya sekira 2.600 lulusan Sekolah Lanjutan Atas (SLA) yang mengikuti ujian saringan ITB. Jumlah ini nyaris separuh dari mereka yang ikut ujian saringan 1968 sekira 4.200.
Panitya ujian saringan ITB waktu itu kepada Pikiran Rakjat mengungkapkan naiknya besaran uang kuliah ITB dirasakan berat bagi para lulusan SLA.
Pada 1969 ITB menetapkan uang pangkal untuk berapa bagian di ITB berkisar antara Rp2.000 hingga Rp50.000 atau lebih. Uang pangkal itu belum termasuk uang kuliah Rp2.500 hingga Rp7.000 per semester.
Jumlah uang pangkal berbeda antar tiap bagian. Yang paling sedikit adalah bagian Matematika, Fisika, Geofika, Metereologi, Astronomi, Geodesi, Biologi dan Kimia.
Pada Januari itu Dewan Mahasiswa ITB dan Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran mengadakan pertemuan untuk membahas uang kuliah.
Ketua DM ITB Wimar Witoelar menyampaikan masalah uang kuliah ini harus mendapat perhatian serius dari semua pihak. "Persoalan uang kuliah dan uang masuk ITB hanya akan mengakibatkan bertambah pintarnya orang-orang kaya dan orang miskin semakin bodoh," ujar Wimar pada Pikiran Rakjat, 14 Januari 1969.
Dewan Mahasiswa ITB memandang pungutan itu dirasakan berat oleh orang-orang yang berasal dari luar Pulau Jawa yang akan meneruskan kuliahnya di Jawa. Wimar menyebutkan pihaknya memang tidak bisa menutup mata kesulitan keuangan yang dihadapi pemerintah dewasa ini.
Seorang mahasiswa Bernama Mustafa dari Tamansari, Bandung mengatakan pungutan Rp5000 per semester, itu belum termasuk pembayaran pratikum. Hal ini memberatkan anak pedagang, prajurit dan petani.
"Jangan sampai yang menjadi sarjana kelak hanya dari kalangan orang berduit saja. Menurut hemat kami kurang adil. Bencana yang menimpa perguruan tinggi merupakan bencana nasional. Hal ini tidak sesuai dengan Pancasila," demikian pernyataan DM ITB.