Usaha Menengah, Kecil dan Mikro (UMKM) termasuk Pedagang Kaki Lima (PKL) dinilai sebagi katup pengaman dalam perekonomian, khususnya saat krisis. Dalam keadaan normal pun sektor ini berkontribusi mencipatakan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Itu poin pertama.
Poin kedua dari fenomena UMKM di Indonesia adalah pelakunya adalah perempuan. UMKM perempuan usaha untuk membantu perekonomian keluarga bahkan kerap terjadi dijalankna oleh mereka yang single parent.
Mendukung UMKM sama dengan memberikan andil pada pemberdayaan perempuan. Hal ini sudah pernah diungkapkan tokoh pergerakan perempuan dari Sumatera Barat Rohana Kudus, ketika mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia pada Februari 1911.
Sekolah ini mengajarkan ketermpilan menenun dan renda hingga perempuan tidak berganung kepada laki-laki dalam ekonomi.
"Dengan memberikan keterampilan, sekolah Amai Setia menyelamatkan perempuan dari kemiskinan," seperti dinyatakan dalam suratkabar yang didirikannya, Soenting Melajoe edisi 6 Maret 1914
Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi DKI Jakarta yang menyebutkan pada 2016 jumlah UMK di Jakarta sekitar 1,151 juta unit usaha (Lihat Tabel). Sayang saya tidak mendapatkan data yang mutakhir.
Jumlah ini sebetulnya fantastis, mengingat populasi penduduk DKI Jakarta sekitar 10,56 juta jiwa, berarti 10 persennya pelaku UMKM jika itu indentik dengan jumlah pelaku. Begitu juga data yang disebut Kemenkop dan UKM bahwa jumlah UKM sekitar 64 juta juga luar biasa. Kalau itu benar selesailah masalah pengangguran di Indonesia.
Jadi masih menjadi tanda tanya apakah identik dengan jumlah pelaku usaha atau hanya unit usaha? Yang harus ditelaah lebih dalam apa nama yang sudha ganti atau usaha yang sudah berjalan tetap dihitung,
Jakpreneur program dari Pemprov DKI Jakarta juga mengklaim mencatat 373.903 usaha. Namun apakah jumlah orang yang terlibat atau usahanya juga harus dipertanyakan.