Sebuah penelitian yang dirilis Nature Scientific Journal yang diterbitkan 24 Januari 2024 mengungkap bahwa terjadi penurunan permukaan air tanah di berbagai belahan dunia mengalami penurunan dalam skala luas dan cepat selama 40 tahun terakhir.
Perubahan iklim ditambah praktik irigasi yang tidak berkelanjutan menjadi penyebab penurunan permukaan air tanah. Dampaknya ialah menurunnya hasil panen, terutama pasokan air besih bagi kehidupan manusia itu sendiri.
Selama bertahun-tahun, satelit telah mencatat penurunan tajam air tanah, dari Lembah Tengah Kalifornia hingga India bagian utara.
Namun pengukuran berbasis gravitasi seperti itu tidak dapat menangkap perubahan pada skala lokal.
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai masalah ini, Scott Jasechko dari Universitas California, Santa Barbara, dan rekan-rekannya menganalisis ketinggian air tanah di lebih dari 170.000 sumur.
Para peneliti berfokus pada sumur yang datanya mereka miliki setidaknya selama delapan tahun sejak 2000.
Situs-situs ini mewakili hampir 1.700 sistem akuifer, atau reservoir air tanah, di seluruh dunia.
Lebih dari sepertiga akuifer yang mereka pelajari mengalami penurunan permukaan air rata-rata lebih dari 0,1 meter per tahun sejak 2000.
Lebih dari 10 persen mengalami penurunan drastis lebih dari 0,5 meter per tahun. Dan beberapa outlier mengalami penurunan ekstrim lebih dari 1 meter per tahun.
Jasechko mengatakan sumur-sumur di banyak akuifer di seluruh dunia sudah mulai mengering, dan jutaan sumur dangkal lainnya berada dalam risiko mengingat tingkat penurunan yang terjadi.