Tidak mudah menjadi manusia yang ramah lingkungan dan hemat energi. Sampai saat ini saya hanya bisa untuk berupaya makan tanpa sisa sejak berapa tahun terakhir. Kalau di rumah maupun jajan, saya ambil makanan di rumah, di kantor atau di acara selalu ambil sedikit. Kalau kurang baru menambah lagi. Tidak peduli mata melihat dan berkomentar ini anak rakus sekali.
Saya miris melihat kelakuan orang-orang kalau datang menghadiri sebuah event atau pesta kalau mengambil makanan ambil porsi dengan banyak lauk, tetapi akhirnya piringnya tersisa banyak makanan. Nah, yang datang belakangan tidak kebagian makanan yang layak. Selain itu mereka lupa di luar sana masih banyak yang kelaparan.
Sementara kalau makan di warung, rumah makan kaki lima saya pesan pada penjualnya untuk mengurangi porsinya agar saya habis, walau harus membayar sama dengan porsi standarnya. Kalau masih lapar, saya tambah camilan. Begitu juga kalau sedang bertamu ditawari makan dengan porsi besar, saya minta dikurangi.
Saya paham bahwa kalau sampah makanan bisa menjadi gas metana di TPA yang akhirnya bisa menjadi "bom waktu" yang berbahaya kalau menumpuk. Alhamdullilah, orang-orang yang tinggal serumah dengan saya rata-rata habis hingga untuk sampah organik kecil.
Bagaimana dengan sampah anorganik? Kecuali botol air mineral untuk dibawa bisa diganti tumbler. Tetapi untuk di rumah tetap harus beli karena keterbatasan air galon untuk jatah orang rumah. Lalu sisa botol plastik diberikan pemulung, untuk sampah jenis ini tidak sampai saya berikan ke tukang sampah.
Kalau kantong kresek untuk di rumah bisa dikurangi dengan membawa kantong sendiri berbelanja, walau tidak untuk semua produk, seperti makanan. Pasalnya udara yang kotor membuat ibu di rumah lebih merasa nyaman kalau makanan dibungkus plastik. Kalau saya berpergian membawa punya tas belanja sendiri. Tidak jadi soal bagi saya sendiri.
Satu-satunya masalah saya untuk jenis sampah ini ialah sachet kopi campur instan yang saya kecanduan dan bisa habis 4-5 bungkus. Saya tidak punya solusi karena produsen juga tidak punya solusi dengan produk isi ulang di pasar swalayan.
Sama halnya dengan deterjen atau sabun cuci piring sulit ditemukan di lingkungan saya yang isi ulang. Mungkin tidak ekonomis bagi produsen. Hingga bungkusnya jadi sampah.
Padahal kalau dijumlahkan total dari seluruh warga di sebuah lingkungan berpotensi jadi sampah plastik yang entah mengapa ada di sungai dan menjadi mikroplastik. Tetapi itu tanggungjawabnya banyak pihak. Memangnya otoritas berpikir sampai sejauh ini untuk membuat kebijakan menekan produsen?
Sampah residu seperti popok yang dipakai ibu saya yang rentah, ya memang tidak bisa dihindari apa boleh buat. Yang juga sulit baterai atau limbah elektronik yang pernah saya tulis.