Sejumlah komunitas anak muda berupaya menjadi garda terdepan menyelamatkan Kawasan Bandung Utara tempat mereka bemukim, karena sadar jika wilayah itu rusak mereka dan anak-anak mereka juga yang menanggung akibatnya.
Kawasan Bandung Utara (KBU) merupakan daerah yang mengalami degradasi lingkungan yang cukup parah. Hutan, sungai, dan mata air Kawasan Bandung Utara (KBU) rusak berat.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat mengungkapkan berdasarkan Perda KBU Nomor 1 2008 itu luas kawasan KBU 28.452,5 hektare. Jumlah ini berkurang pada Perda Nomor 2 Tahun 2016 kawasan lindungnya menjadi 25.054,51 hektare.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Meiki W. Paendong dari 41.315,32 hektare total luas KBU wilayah yang terbangunnya itu 10.427,9 hektare. Jumlah itu sekitar dua puluh lima persen dari luas KBU.
"Fungsi lindungnya semakin berkurang. Karena sudah semakin banyak, sedikit demi sedikit bertambah wilayah bangunnya," ujar Meiki dikutip dari Koran Gala.
Air tanah menjadi isu yang mengkhawatirkan di Kota Bandung pada awal 2023. Berdasarkan pantauan Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi, kondisi air tanah di Bandung mengalami kondisi kritis hingga rusak parah.
Kepala Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PATGTL) Badan Geologi Rita Susilawati mengatakan, untuk kondisi di dataran Bandung, air tanah dikatakan aman bila muka air tanah artesis berada pada kedalaman kurang dari 20 meter di bawah muka tanah setempat.
Hal ini ditunjukkan dari fenomena penurunan muka air tanah di sejumlah wilayah, termasuk Kota Bandung. Merujuk pada sumur pantau air tanah, muka air tanah artesis di Bandung telah turun lebih dari 40 meter di bawah muka tanah.
Pejuang Mata Air
Kondisi KBU rupanya membangkitkan sejumlah anak muda yang menjadi warga di areal itu. Rhyma Permatasari, 29 tahun adalah salah seorang di antaranya. Ibu rumah tangga yang tinggal di Cipaku ini khawatir anaknya yang kini berusia lima tahun, ketika dewasa tidak bisa menikmati air bersih.
"Sejak berapa tahun kami merasakan krisis air. Kalau dulu 50 liter per detik, kini hanya 19 liter per detik. Turunnya sampai 80 persen," ujar Rhyma dalam sebuah wawancara dengan saya untuk Koridor berapa waktu lalu.