Ibu Omi pemilik warung makan di sebuah kantin bersama dekat rumah saya di Kampung Cinere, Depok, hanya mengaku bisa pasrah dengan naiknya harga elpiji. Catat, ibu ini tidak menggunakan Elpiji Melon yang disubsidi, tetapi elpiji nonsubsidi, pasalnya kapasitas produksinya besar.
Masalahnya, kenaikan harga elpiji yang mencapai Rp170-180 ribu ini bersamaan juga dengan naiknya harga minyak goreng,yaitu Rp40 ribu untuk dua liter, telur ayam yang menembus di atas Rp30 ribu, cabai merah, cabai rawit dan belum lagi ayam broiler.
Ibu Atun juga demikian. Tukang Nasi Uduk yang juga satu kampung dengan saya juga menggunakan elpiji non subsidi, juga didesak tingginya harga minyak goreng, telur ayam, cabai merah.
Keduanya mengeluhkan hal yang sama: Mau dijual berapa harga makanannya? Tidak mungkin menaikan harga karena daya beli sedang turun. Saya sendiri pelanggan mereka keberatan kalau harga nasi uduk dengan telur sampai Rp15 ribu, dan Ibu Atun menjualnya Rp10 ribu tepat.
Jujur, saya termasuk keluarga yang daya belinya turun dan terpaksa pakai elpiji yang non subsidi karena dianggap orang kaya, karena memang tinggal di kompleks. Kalau menghemat elpiji, ya sudha hemat benar, satu tabung 12 kilogram itu baru habis sekitar 30 hari bahkan lebih.
Pertanyaannya, ukuran orang kaya itu sekarang apa? Penghasilannya? Rumahnya itu ukuran berapa? Pemerintah tampaknya tidak punya parameter. Lalu ketika mengeluarkan kebijakan menaikan elpiji waktunya tepat nggak? Minyak goreng karena harga internasional bagus, menaikan saja, tepat nggak? Tanpa kenaikan saja kualitas hidup sudah turun.
Republika edisi 28 Desember 2021 juga melaporan keluhan salah seorang pemilik usaha kue di wilayah Kecamatan Bogor Utara, Kota Bogor, Farin (25 tahun), mengaku biasa menggunakan elpiji 12 kg di pabrik usaha kue miliknya. Menurutnya, harga yang ditetapkan pemerintah terlalu mahal. Seperti halnya dua pelaku UKM di kampung saya di kawasan Depok, dia juga menyebt Apalagi, harga telur yang menjadi bahan pokok kue naik.
Farin berencana meningkatkan harga produk yang dijualnya, mulai dari roti, pastry, dan kue. Mungkin harga pada 2022 bisa jadi ada beberapa yang harus dinaikkan sampai Rp 5.000 untuk menyeimbangkan juga dengan harga bahan pokok yang tidak stabil.
Pertanyaanya juga sama? Pelanggannya mau nggak? Belum tentu. Bisa jadi pelanggan yang tadinya beli tiga, jadi beli satu. Selain itu naiknya harga akan memicu masalah lain, yaitu inflasi. Pertanyaannya, sebetulnya Pertamina ketika menaikan harga elpiji mengamati juga harga minyak goreng, harga telur ayam,harga cabai merahm harga bahan pokok lain, lalu daya beli masyarakat?
Boleh saja Corporate Secretary Sub Holding Commercial & Trading Pertamina Irto Ginting menjelaskan, penyesuaian harga elpiji terakhir kali dilakukan Pertamina pada 2017. Saat ini, Pertamina menaikkan 7,5 persen harga elpiji nonsubsidi tersebut.