Apakah Sastra bisa berjalan dari sejarah dan sebaliknya sejarah bisa dimulai dari sastra? Demikian kira-kira tagline dari Webinar Sadaring Satu Pena bertajuk Sejarah dalam Sastra, Minggu 10 Oktober 2021, yang saya ikuti.
Kalau saya mencoba menjawab bergantung pada metodologinya terutama pada sumber yang digunakan apakah otentik, orisinal, lengkap dan kemudian sumber-sumber itu harus diverifikasi (kritik sumber).
Kalau saya tetap kukuh bahwa sebaiknya berupaya menggunakan sumber primer, di samping menggunakan sumber sekunder dalam menulis artikel sejarah secara akademik maupun populer dalam menulis cerpen atau novel berlatar belakang sejarah.
Saya tertarik mengikuti webinar ini karena ingin tahu apakah satu persepsi dengan saya atau tidak. Seperti membuat film berlatar belakang sejarah, yang pernah saya tulis di Kompasiana, menulis fiksi baik cerpen maupun novel membutuhkan riset dan pasti tidak mudah.
Dalam pengantar webinar, S. Margana, Koordinator Ketua Presedium Satu Pena mengatakan tugas sejarah itu kembar. Sejarah harus menceritakan suatu peristiwa sesuai dengan kejadian atau fakta dan menuliskannya dengan mengikuti prosedur ilmiah, spasial, temporal, kronologis berdasarkan fakta atau bukti. Sedangkan sastra cukup mengungkapkan gambaran tentang peristiwa yang dapat dipahami pembaca.
Iksaka Banu, seorang seniman yang kerap menulis cerpen berlatar belakang sejarah masa kolonial salah seorang pembicara mengatakan, dalam menulis dia ingin menampilkan sosok yang bukan tokoh utama (pelaku sejarah) yang banyak ditulis sejarah, tetapi apa yang terjadi bak pada orang Belanda maupun pribumi (Indonesia) yang bukan tokoh.
Dalam cerpen "Mawar di Kanal Macan", penulis kelahiran 7 Oktober 1964 ini mengisahkan percintaan antara Letnan Eropa dan seorang perempuan pribumi yang terhalang hukum kolonial dan juga menyinggung puritanisme protestan masa itu.
"Saya menggunakan tiga sumber, yaitu catatan perjalanan orang Belanda yang datang ke Indonesia walau bukan dalam bentuk buku atau jurnal, memoar atau kenang-kenangan orang Belanda yang ada di Indonesia hingga novel dan kajian sastra terkait naik," ujar Banu dalam webinar itu.
Cerpen lainnya yang dijadikan contoh ialah "Teh dan Pengkihanat" tentang pemberontakan buruh teh Tionghoa melawan kesewenangan pemerintah Hindia Belanda. Banu mengungkapkan untuk menumpas pemberontakan itu, Belanda menggunakan jasa Sentot Alibasyah, yang tak lain panglima Pangeran Diponegoro yang dibujuk untuk menyerah.
Setahu saya, Sentot ini dikirim Belanda untuk menghadapi pasukan Padri dipimpin Imam Bonjol di Sumatera Barat. Namun dalam suatu peristiwa pada Januari 1833 di mana pasukan Padri mengadakan serangan besar-besaran menewaskan ratusan tentara Belanda, Sentot dianggap berkolaborasi dengan pasukan Padri, hingga dia dibuang ke Bengkulu.