Perlawanan rakyat Banjarmasin menjadi menarik, karena ternyata bukan sekadar perlawanan terhadap kolonialisme Belanda bukan hanya karena persoalan politik, seperti suksesi di Kesultanan Banjarmasin, tetapi juga ada persoalan menyangkut ekonomi.
Perang kolonial yang terjadi antara 1859-1862 (bahkan setelah itu dalam skala sporadis dan panjang hingga 1905), bersifat masif dan benar-benar bentrokan yang luas antara masyarakat Suku Melayu, Suku Banjar dan Suku Dayak di pedalaman Kalimantan dengan sasaran benar-benar orang berkulit putih, bukan saja berkebangsaan Belanda, tetapi Inggris, dan Jerman.
Perlawanan ini bukan saja melibatkan golongan bangsawan yang beroposisi terhadap Belanda (serta Sultan yang didukung Belanda), tetapi juga golongan menengah seperti para pedagang, para haji, hingga kepala suku di pedalaman.
Kalau saja tidak unggul dari segi persenjataan militer dengan penguasaan medan tempur hutan dan sungai, dipastikan Belanda bisa terusir dan korban di pihak kulit putih sangat besar. Pada tahap pertama pertempuran korban sipil Eropa begitu banyak, hingga membuat kritikan keras dari orang Eropa di Batavia, bahwa mereka yang bertugas di Banjarmasin, tidak kompeten, tidak peka terhadap persoalan di akar rumput dan kalau pun sudah terlambat. Sumber dari pihak Belanda dan Eropa mengakui hal itu.
Di antaranya apa yang diungkapkan "Syair Perang Bandjar" ditulis oleh orang yang berpihak kepada Belanda menjadi sumber menarik dengan apa yang terjadi di kawasan Banjarmasin antara 1859 hingga 1963.
Syair tersebut diterjemahkan oleh Nikmah Sunardjo and Muhamad Fanani, Muhamad Fanani "Syair Sultan Mahmud Di lingga dan Syair Perang Banjarmasin" yang diterbitkan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada 1992. Antara lain berbunyi:
Mayor Verspyk Residen perkuasa Kepada berperang amat biasa / Menjadikan perintah amat kuasa Berandal banyak rusak binasa/Berandal kota hati melawan/ Tiada takut mati tertawan
Beberapa membuat tingkat kelakuan/Dititahkan pangeran raja bangsawan/ Kawan rajanya jadi kepala Pangeran Hidayatullah Taala/Melawan Gubememen membuat gila /Tiada sadar diberikan cela
Pangeran Hidayatullah yang kahra/ Jadi mangkubumi memegang bicara/ Raja yang asalnya di dalam negara/Kepadanya banyak rakyat tentara Beberapa banyak orang bernama Pangeran dan Gusti Tumenggung bersama/Orang besar-besar wazir yang utama Melawan Kumpeni jadi panglima
Saudaranya Pangeran Hidayat yang sakti Raja/Pangeran Wira namanya pasti/ berbangsa asal yang jati/ Menjadi berandal bersungguh hati (halaman 167).
Menurut buku itu syair itu ditulis oleh Pangeran Syarif Hasyim ini, Tengku Sayid Muhamad Zain Al-Qudsi, peranakan negeri Riau pada masanya mengangkat pekerjaan peperangan pada segala tanah sebelah selatan dan timur Pulau Kalimantan.