Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bandung 1966, Ketika Mahasiswa Bergerak (1)

Diperbarui: 19 Oktober 2020   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah aksi demonstrasi-Foto: Historia.id/Tribunnenews.

"Kegagalan Gerakan 30 September lebih meyakinkan kaum beragama akan kebesaran Tuhan" (Mayjen Soeharto dalam amanatnya di depan 17 Kolonel dan 13 Mayor, Angkatan ke IV, Seskoad Bandung, Kamis 30 Desember 1965 dimuat di Pikiran Rakjat 3 Januari 1966.  Pernyataan itu mengisyaratkan bahwa pukulan telak pertama terhadap PKI telah selesai dilakukan. Pukulan secara "de facto".

Praktis pada akhir 1965 Partai Komunis Indonesia sudah tamat riwayatnya. Presiden Sukarno mau membubarkan atau tidak sebetulnya hanya soal legalitas saja, karena basis riilnya sudah hancur (terkecuali di daerah tertentu, seperti Blitar).  PKI yang mengkaim mempunyai tiga juta anggota sebenarnya sudah disindir oleh Jaques Lecrec sebagai raksasa lempung.

Dukungan Aidit terhadap kudeta yang dilakukan Kolonel Untung pada pengujung September 1965 menjadi blunder yang membuat PKI mengalami kehancuran untuk selama-lamanya. Padahal partai belum siap melakukan sebuah pertarungan bersenjata. 

Bahwa PKI dengan mudah dianalogikan sebagai kelompok anti Tuhan, mungkin bisa menjadi perdebatan. Namun pada faktanya benturan antara para pengikut PKI dengan santri di perdesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur pada 1960-an membuatnya menjadi musuh kalangan santri.

Jumlah korban pembantaian terhadap PKI beragam. Brian May, seorang koresponden kantor berita Prancis AFP dalam bukunya  mengutip tiga sumber, yaitu John Hughes penulis buku "The End of Sukarno" yang menyebut 200 ribu, Adam Malik mengungkapkan 160 ribu dan Life Magazine menyebut sekira 400 ribu, itu artinya 13 persen dari estimasi jumlah anggota PKI (May, 1978: halaman 120).

Mahasiswa praktis muncul sebagai kekuatan politik baru menuntut perubahan. Sejarawan Onghokham dalam tulisannya "Jurang Generasi dan Mitos Sukarno" mencatat fenomena generation gap atau jurang generasi yang melanda masyarakat Barat, di mana berhadapan para ayah dan kakek yang dibesarkan dalam sistem otoriter dengan anak-anaknya generasi pasca Perang Dunia ke II yang hidup di masyarakat yang sangat liberal.

Generation gap ini juga terjadi di Indonesia, ketika muncul neo priyayi pada masa pergerakan di mana kaum muda menggugat kaum tua, mulai dari Sumpah Pemuda hingga Ben Anderson menyebut Revolusi 1945 sebagai Revolusi Pemuda. Nah, yang terjadi pada 1966 seperti itu juga, gejala anak-anak punya sikap benci pada ayah (yang diwakili grup Sukarno), Sukarno mendominasi sektor publik Jakarta dan Indonesia, di sudut-sudut ada fotonya dan itu menjadi obsesi mahasiswa angkatan 1966 ini untuk membersihkan jalanan dari Sukarno (Onghokham, halaman 75).

Kesenjangan generasi baru dengan generasi lama dipertajam dengan ideologi di kalangan mahasiswa seperti yang diungkapkan Francois Raillon bahwa kalangan mahasiswa generasi baru banyak dipengaruhi oleh gerakan HMI yang diidentikan dengan Masyumi serta Gemsos yang berafiliasi dengan PSI, yang notabenenya keduanya dibubarkan karena dituding dikaitkan dengan PRRI/Permesta. PKI dan underbow-nya di kalangan kampus CGMI terlalu dominan dan kerap melakukan agitasi terhadap semua yang berlawanan dengan cepat mengumpulkan banyak musuh.

Oposisi terhadap rezim Demokrasi Terpimpin itu datang dari dua kekuatan: yang pertama berasal dari tokoh-tokoh anti Soekarno di Angkatan Darat. Sementara kelopok kedua datang dari partai-partai yang dilarang pada Agustus 1960 yakni setelah terjadinya pemberontakan PRRI, yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia.

Tokoh-tokoh Angkatan Darat yang anti Soekarno itu bergabung dengan anggota atau simpatisan partai-partai politik terlarang. Diantara mereka sendiri memang sering sudah terjalin hubungan pribadi.

Francois menyebutkan bila sebelumnya universitas merupakan satu kelompok sosial yang sedikit sekali terpolitisir dan hanya ditugaskan untuk mencetak elite Indonesia maka kini ia berubah menjadi satu ajang pertempuran politik. Secara sistematis setiap partai politik menciptakan organisasi kemahasiswaan yang berafiliasi pada mereka. Dengan demikian mereka mulai memasukkan elemen-elemen pertama dalam debat politik dikalangan mahasiswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline