Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Guru Minda (7)

Diperbarui: 21 September 2020   09:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi---Ceritanakdunia.com

TUJUH

"Kakanda, bangun!  Ada orang-orang asing mencarimu.  Di antaranya ada yang mengaku Ambu Anjeun," terdengar suara Purbasari di samping tempat tidurku.  Dadung Bala Dewa juga ada. Mereka tampaknya terheran-heran.

Aku menggeliat.  Lalu bangun.  Aku tadi salat subuh dan kemudian tidur lagi, kelelahan habis bekerja di ladang membantu panen jagung dan panen ikan mas. 

"Guru, ini Ambu!"

Suaranya aku kenal.  Suara Ambu aku. Mustahil, orang-orang dari Titanium menyusul ke Bumi. Mereka pasti melacak dari radar antar pesawat dan juga dari hanggar.

Dengan mata masih mengantuk, aku mengikuti istriku turun dari tanggung panggung.   Ternyata di bawah memang menunggu Ambu aku dengan mata berkaca-kaca.  Aku melihat sekelilingnya ada Teteh Mayang, Teteh Sisil, Kang Mamo, Teteh Ira, dokter Oscar ahli alergi aku, ada sejumlah orang sipil lainnya dan sembilan tentara bersenjata lengkap.  Di antara tentara itu ada yang aku kenal Samuel Wanggai. Dia juga senang.

Aku juga melihat rombongan membawa belasan robot anjing. Para warga juga takjub melihat robot anjing itu.  Itu artinya mereka serius mencariku dengan peralatan lengkap.  Seluruh rombongan berjumlah di atas dua puluh orang. Pastilah dipakai pesawat guru minda ukuran besar.  Aku melihat ada motor capung terbang dan jip terbang. Namun baru sebagian.

Mimpi?

Aku menghambur dengan hanya celana dan baju warga sini dan tubuh yang berbulu seperti lutung memeluk Ambu.  Dia tidak memperdulikannya, tidak ada rasa jijik.  Air matanya berjatuhan. Aku pun tak bisa menahan air mataku.

Mereka masih peduli kepada aku. Walau aku buruk rupa. Bagaimana pun Ambu adalah semesta pertamaku. Aku lahir dari rahimnya dan dia tetap menerima aku apa pun adanya.

"Maafkan aku Ambu!" Aku makin terisak. Air mataku berhamburan.  Purbasari menyaksikan juga tak bisa menahan tangis.  Aku berlutut di kakinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline