Pada jam 23.00 , 17 Maret 2002, sekitar delapan jam sesudah liputan ke Kampung Tugu, saya menulis sebuah puisi yang terilhami dari reportase tersebut.
Kroncong Seorang Muslim pada Saudaranya dari Kampung Serani
Saudaraku dari Kampung Serani
Dikehendaki sejarah untuk bersama bersaksi di tanah padi, seikat-serumpun.
Amboi indahnya nyiur, lembutnya suara ombak.
Kini terang bulan lagi, Oh Pantai Ancol mainkan Okulele-mu! Nyanyikan lagu:
"Pelangi-pelangi, Alangkah indahmu, Merah, Merah, Putih, Hijau, di langit yang Biru"
Sambil lenso dengan sapu tangan Merah-Putih dengan pakaian sadariah dan piyama btik Jawa, sambil teriak: Quando! Quando!
Sudah lupa Bengali mandi di Kampung Bandan
Sudah ganti rupa cafrinho, si Nona Indo menanti di Teluk Coramandel
Kan ada Nona Kebaya Kampung Cilincing
Abraham, Quiko, Cornelis, Kantil
Pandai juga main rebana
Ingat juga bersampan ke Marunda, Bersua si Pitung sedang merayap.
Tetapi saudaraku ini hanya ingin menembak celeng dengan bedil Locok
Sebelum mandi-mandi sesudah Tahun Baru
Hei, Quando! Quando!
Waktu itu saya mewawancarai (Opa) Prana Abraham, usianya sudah delapan puluh dua tahun. Tetapi dia tetap tegar menghadapi saya dan Idan (reporter dan fotografer "Majalah Krakatau") yang menemui di kediamannya di Kampung Tugu. Pensiunan Pegawai Bimas Agama Protestan Departemen Agama ini merupakan sesepuh Kampung Tugu dan saksi sejarah yang paling tua dan masih hidup.
Putra dari Rubben Abrahams ini sempat mengenyam pendidikan HIS yang dilanjutkan di Bandung ketika hanya mengikuti ayahnya yang bekerja di General Motor sebagai montir sempat pulang ke kampungnya di Tugu sebelum Jepang masuk. Dia kembali ke Bandung sebelum pulang tahun 1969 untuk selamanya tinggal di Kampung Tugu.
Rupanya Ali Sadikin sedang menghidupkan lagu Kroncong dan memanggil kembali para orangtua. Pada masa awal pemerintahannya Ali Sadikin memang rajin mencari identitas kebudayaan Jakarta, belimba dengan daerah lain.
Di masa pemerintahannya lahir Abang None Jakarta, Taman Ismail Marzuki. Penggalian kebudayaan Betawi memang dimaksudkan sebagai pencarian idnetitas Jakarta. Sayangnya hanya Ali sadikin dan Gubernur Suprapto yang peduli kroncong secara intens.
Orang tua ini (Opa Prana) masih mau membuat alat musik kroncong. Dia kini berharap Efrim Abraham(42 tahun) untuk menyelamatkan kroncong.
"Keroncong butuh Bapak Angkat dan perlu kebijakan khusus untuk melestarikan Gereja Tugu dan sekitarnya," ujar dia.