Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Ada Apa dan Mengapa dengan Mudik?

Diperbarui: 4 April 2020   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi-Foto: Intisari Online.

Gemas memang mendengar para perantau ingin tetap  mudik sekalipun dalam pandemi Covid-19 atau Corona.  Para perantau dari daerah yang ada di Jakarta bahkan sudah mendahului pulang mudik, sebelum imbauan untuk tidak mudik gencar. Pertanyaan pertama, mengapa mereka ngotot untuk mudik walau pun ada risiko penyebaran Corona di Kampung Halaman? Ada Apa dengan Mudik?

"Kalau bisa Aku ingin pulang!" ucap Parino, ketika karyawan sebuah warung kaki lima Bakmi Bangka depan kompleks perumahaan saya. Pria yang karib dipanggil Rino ini gelisah karena tidak bisa mudik ke kampungnya di Cilacap akibat adanya pandemi corona.  Dia hanya sendirian di Depok, sementara istri, anak, orangtuanya ada di kampung. 

Video call tidak bisa menggantikan silaturahmi langsung. Sekalipun nanti libur lebaran diganti sekalipun belum tentu semua keluarga di perantauan bisa kumpul setahun sekali. "Kerjaannya kan beda-beda, tempatnya juga beda-beda," imbuh dia.

Sementara seorang tukang sayur langganan saya memutuskan untuk tidak mudikm karena sadar bahwa bakal membawa potensi bahaya kepada keluarganya di kampung.  Pasalnya di rumahnya banyak anak-anak dan orang usia tua. "Kasihan kalau mereka tertular!" katanya.

Di sekitar kompleks saya, tukang tahu Sumedang sudah kabur ke kampungnya. Sekalipun sebetulnya dagangannya tidak sepi juga. Masih banyak yang beli bahkan tukang ojek daring juga masih ada.  Tukang cukur dari Garut juga tutup gerainya.

Sejumlah pedagang kaki lima juga kabur, tetapi karena sepi. Sekalipun masih ada pembeli dari warga, tetapi dengan ditutupnya kantoran maka pemasukan mereka juga berkurang. Memang ada warung kaki lima yang bisa bertahan karena langganan melalui ojek daringnya sudah banyak.  Seperti warung ayam bakar pupuy. Hanya saja para pegawainya juga cemas tidak bisa pulang. 

Pemerintah seperti yang dikatakan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto meminta masyarakat tak mudik jelang Ramadan (masih bersifat imbauan). Yuri menyatakan pandemi virus corona dibawa oleh manusia.

"Oleh karena itu pergerakan manusia dalam jumlah besar seperti mudik berpotensi menambah penyebaran virus ini," ujar Yuri seperti dikutip Cnnindonesia.

Namun sebetulnya masalah ini nggak perlu terjadi kalau saja sentra pembangunan tidak terlalu terpusat di Jakarta.  Sekalipun tradisi pulang kampung mempunyai akar sejarah dan budaya, tetapi bukanlah dalam pengertian mudik seperti sekarang ini. 

Orang Minang seperti dalam dongeng Malin Kundang punya tradisi merantau untuk mencari penghidupan lebih baik dan baru pulang karena sukses, tetapi tidak terkait dengan Hari Raya.  

Orang Minang  (mungkin juga suku lain seperi Bugis, Makassar) dalam sejarah  merantau lebih mirip dengan orang Tionghoa ketika merantau sampai ke negeri orang. Bahkan hingga sekarang, banyak dari mereka sudah jadi bagian di tanah rantaunya dari pada terikat dengan kampung halamannya. Tentunya juga orang Jawa Deli yang sudah jadi bagian masyarakat  Sumatera Timur, karena terkait Kololianisme dulu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline