Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bandung 1965, Runtuhnya PKI Jabar

Diperbarui: 1 Maret 2020   21:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Headline Pikiran Rakjat 6 Oktober 1965-Ilustrasi Audividual Perpusnas.

Selasa 1 Juni1965 ,  Ribuan kader Partai Komunis Indonesia  (PKI) merayakan hari ulang tahun partainya di Lapangan Tegallega. Semangat menyelesaikan revolusi Indonesia dan perjuangan anti neo kolonialisme mewarnai teriakan massa.  Ketua PKI Cabang Bandung Amir Anwar Sanusi mengatakan bahwa Revolusi Indonesia tidak mungkin diselesaikan oleh PKI sendiri.

Ikut memberi sambutan Gubernur Jawa Barat Mashudi yang mengingatkan PKI agar menerima pancasila sebagai taktik perjuangan dan memegang teguh sebagai azaz pemersatu dan tidak mencoba sendiri-sendiri menyeleraskan revolusi dan perjuangan anti neo kolonialisme.

Anwar Sanusi, menjelang 40 tahun pada waktu itu, memang tercatat pernah menajdi Ketua Fraksi PKI dalam konstituante, belajar otodidak dan kursus hingga pendidikannya setingkat SMA, serta aktif di gerakan buruh. Tokoh inilah yang mengeluarkan pernyataan pada akhir September 1965 bahwa "Ibu Pertiwi hamil tua, dan peraji (dukun beranak) sudah siap untuk kelahiran sang bayi" dan dimuat di sejumlah surat kabar(1).

Pernyataan pada 1 Juni dan akhir September 1965 menunjukan bahwa dia sama sekali tidak menduga bahwa salah satu partai besar di Indonesia bakal tamat riwayatnya. Khususnya di Jawa Barat keruntuhan para kader dan pengikut partai ini tidak mengalami nasib yang naas seperti rekan-rekan mereka di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan daerah lain. 

PKI terkesan pongah dan terlalu yakin  bahwa mereka kuat, menjelang 30 September, berita tentang tuntutan PKI untuk membubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). DN Aidit dalam rapat raksasa CGMI (organisasi mahasiswa PKI) pernah berpidato: "Kalau tidak berhasil membubarkan HMI, maka anggota-anggota CGMI mengganti celana dengan sarung", konsekuensi pernyataan ini untuk persoalan PKI di Bandung, akan saya ulas dalam tulisan lanjutan (2).

Sekalipun manuver sejumlah kader PKI di Jawa Barat juga mengumpulkan banyak musuh terutama dari kalangan Islam.  PKI tidak terlalu punya akar yang begitu kuat di Jabar terutama di perdesaan oleh berbagai sebab, kecuali di daerah tertentu seperti Subang dan Cirebon, hingga kalangan mahasiswa di Bandung.

Tak banyak yang bisa didapatkan, apa yang terjadi di Bandung pada awal Oktober 1965, saya tidak mengulas berbagai versi terkait Gerakan 30 September 1965, saya hanya menemukan Pikiran Rakjat terbit 4 Oktober 1965 di mikrofilm Perpusnas (mungkin saja ada lembaran terbit pada tanggal 2 atau 3 Oktober). Seperti surat kabar lain , awalnya menceritakan soal penculikan enam perwira tinggi dan satu perwira pertama, serta tertembaknya putri dari Jenderal A.H Nasution, Ade Irma Suryani, yang mengejutkan massa.

Pusat Penerangan Angkatan Darat mengumumkan  lewat RRI  bahwa Gerakan Kontra Revolusioner 30 September  di Jakarta telah menculik Letnan Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal Suprapto, Mayor Jenderal S Parman, Mayor Jenderal Haryonoo M.T, Brigjen Panjaitan. Brigen Sutojo dan Kapten Pierre Tendean. Sementara Jenderal A. H Nasution selamat dan dalam keadaan sehat walafiat.

Dari sumber primer yang saya dapatkan sepanjang Oktober hingga November PKI di Jawa Barat runtuh dengan cepat, dibubarkan anggotanya sendiri, yang terkesan tidak tahu menahu  pada apa yang terjadi di Jakarta.  Anwar Sanusi sendiri tertangkap di Jakarta beberapa bulan setelah kejadian (3).  Kebanyakan reaksi awal adalah pernyataan yang mengutuk Gerakan 30 September, begitu hati-hati awalnya tidak menyebut PKI sebagai dalangnya.

Nina Herlina Lubis dalam tulisannya , menjadi referensi baik mengungkapkan apa yang terjadi di Bandung  pada 30 September hingga awal Oktober.  Ketika terjadi peristiwa 30 September tersebut, menurut sejarawan Unpad tersebut,  Gubernur Jabar Mashudi sedang berada di Beijing, menghadiri perayaan 1 Oktober di Lapangan Tiananmen, bersejumlah petinggi MPRS.  Mashudi dan rombongan mendapat informasi dari PM RRC Cho En Lai bahwa di Jakarta ada penggulingan kekuasaan oleh apa yang menamakan dirinya Dewan Revolusi.  Sayangnya, Duta Besar Indonesia untuk RRC-yang tidak pernah kembali-tidak memberikan informasi yang jelas.

Rombongan juga tidak bisa pulang pada 2 Oktober karena lapangan terbang ditutup.  Baru pada 4 Oktober mereka pulang atas bantuan Raja Sihanouk dari Kamboja dan setibanya di Kemayoran dijemput Tim Kostrad dan diberi penjelasan tentang apa yang terjadi.  Malam harinya dia langsung ke Bandung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline