Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bandung 1964, Dinamika Pariwisata dan Paradoks Tata Kota

Diperbarui: 15 November 2019   21:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Bandung 19go-an, Foto: Halo Halo Bandung Agus Sachari.

Buku yang diterbitkan Badan Koordinasi Pembangunan Daerah Tingkat I Jawa Barat terbitan 1965 menyebut ungkapan yang diberikan wisatawan asing kepada pegunungan di Jawa Barat karena panorama indahnya sebagai "The Abode of The God".   Entah kebetulan atau tidak menjadi terjemahan dari Parahiangan (tempat tinggal para Hyang).

Sekalipun kehidupan ekonomi menurun, tetapi dampaknya dunia hiburan dan dunia wisata tetap menarik dan mungkin membuat kota Bandung sebagai kawasan yang menjadi pusat tempat wisata di Jawa Barat tetap hidup.

Secara umum Kepala Direktorat Kepariwisataan Departemen PDP  Gamber Sudiono mengatakan sepanjang 1964 sekitar 20 ribu wisatawan mancanegara mengunjungi Indonesia dan menghasilkan devisa Rp1,8 juta.  Pada waktu itu lapangan terbang internasional di Bali sudah direncanakan, dikembangkan dari lapangan terbang yang dibangun Belanda hingga wisatawan bisa langsung ke Bali tanpa melalui Jakarta (1).  Dengan kata lain Bali sudah menjadi andalan wisata.

Jawa Barat merupakan salah satu tujuan wisata lainnya.  Sayangnya buku pembangunan Jabar terbitan 1965  tidak menyebut berapa persisnya jumlah wisatawan mancanegara yang masuk Jawa Barat.  Namun buku itu memberikan data bahwa wisman yang masuk dengan biro perjalanan National & International Tourist Bereau (Niti Tour) Cabang Bandung menyebut jumlah wisman yang singgah di Bandung,  Tahun 1962 sebanyak 708 wisman, pada 1963  sebanyak 620 wisman dan 1964 sebanyak 508 wisman.

Sayangnya tidak dijelaskan mengapa jumlah wisman terus menurun.  Kemungkinan faktor politik. Sekalipun rombongan tamu agung kerap diajak Presiden Sukarno untuk singgah ke Bandung dan itu tradisi sejak 19650-an dan kalau durasinya panjang berakhir di Bali atau sebaliknya.  Selain itu Bandung menjadi kota favorit untuk konferensi. Pada Maret 1963 digelar Konferensi PATA.

Hingga era akhir pemerintahan Sukarno destinasi yang menjadi favorit wisman maupun wisatawan nusantara ialah mulai dari Bogor dengan Kebun Raya-nya, terus menelusuri Puncak dengan panorama perkebunan teh-nya hingga Bandung.  

Sementara di sekitar Bandung, Tangkubanprahu, pemandian air panas Maribaya, lalu di selatan Situ Patengangan, Situ Cileunca, Ciwidey, hingga Papandayan.  Kawasan yang sebetulnya sudah menjadi favorit masa Hindia Belanda dan hampir tidak ada destinasi wisata baru yang dibangun.

Sementara di Priangan Selatan Pangandaran, Papandayan, Situ Bagendit hingga industri kerajinan di Tasikmalaya juga destinasi wajib wisatawan di era kolonial untuk ke Jabar. Begitu juga di dekat Subang pemandian air panas Ciater, juga peninggalan orang Belanda.

Riung Gunung-Foto; Halo-halo Bandung.

Pembangunan destinasi wisata pada 1960-an hanya mengembangkan infrastruktur yang sudah ada, Pikiran Rakjat 1960-an diwarnai iklan promosi Riung Gunung Coffee House yang merupakan tempat peristirahatan (cocktail parties) hingga tempat minum kopi dan teh dengan tarif Rp18 ribu atau 12 dolar AS. Jelas untuk orang berada.

Pada Mei 1964, Sidang paripurna DPRD GR Dt II Subang telah menerima rencana Pemerintah Daerah tentang pembangunan obyek pariwisata Ciater yang akan dikerjakan secara bersama dengan pihak swasta. Untuk pembangunan obyek pariwisata tersebut pihak pihak perencana telah menyediakan uang sebesar Rp50 juta.

Menurut rencana pembangunan obyek ini dilaksanakan secara modern dan menunjukan sifat keaslian nasional. Rumah rumah akan dibuat kecil tetapi mingul dengan mengambil bentuk ala Minangkabau, Bali, dan Bugis di atas puncak pasir kecil yang mengtari kolam tenang dengan pemandangan indah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline