Meskipun mahasiswa Bandung umumnya masih menunjukan sikap mendukung kebijakan Soekarno, tetapi memasuki 1964 merupakan awal munculnya sejumlah aktivis yang kelak menjadi pimpinan utama gerakan mahasiswa pada tahun-tahun peralihan dari era Orde Lama ke Orde Baru. Nama-nama yang muncul pada 1964 sulit saya temukan di pemberitaan pada tahun 1960-an awal atau 1950-an akhir. Kemungkinan mereka baru menjadi mahasiswa pada masa itu.
Lanjutan sidang Pengadilan Negeri Bandung para aktivis mahasiswa yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa kerusuhan rasial 10 Mei 1963, memunculkan nama yang sebelumnya tidak terdengar kiprahnya dalam liputan media.
Pada sidang awal Januari itu dihadirkan kesaksian mahasiswa bagian Sipil, ITB Siswono (Yudo Husodo) mengatakan, rasa panas di kalangan mahasiswa bagian sipil ITB timbul karena sikap sombong dan tidak acuh mahasiswa kalangan Tionghoa terhadap perjuangan bangsa Indonesia.
Pada peringatan Sumpah Pemuda para mahasiswa dari kalangan Tionghoa tidak turut dalam upacara, padahal mereka diberitahu akan ada upacara tersebut. Pada waktu Jendral AH Nasution berbicara di ITB, mahasiswa golongan Tionghoa tidak mendengarkan, melainkan omong keras menggunakan Bahasa Belanda (1)
Oleh pembela terdakwa Husen SH, Siswono diminta mengulangi keterangannya. Sementara dua saksi lainnya Dedi Krisna dan Abdul Kojon membenarkan keterangan Siswono. Ketiga saksi ini diajukan untuk enam terdakwa mahasiswa Sut, IW, Peit, Djok, Par dan Sur.
Siswono mengulang keterangannya pada sidang sebelumnya perusakan rumah-rumah, toko dan kendaraan di luar sepengetahuan mahasiswa, ketika menjawab pertanyaan Jaksa Mohammad Jusuf. Dalam sidang itu terungkap pertemuan para aktivis mahasiswa hanya berkisar soal perkelahian di ITB melawan segolongan Tionghoa, yang mereka anggap sombong. Namun Siswono dan kawan-kawannya membantah dipengaruhi Gerakan Anti Tionghoa (Granat).
Cukup menarik Siswono pada 1963, masih berusia 20 tahun sebetulnya merupakan pendukung Bung Karno. Dalam sebuah tulisannya Siswono mengungkapkan dosen favoritnya di Jurusan Sipil ITB Prof Dr Ir Rooseno ketika mengawali kulian pada 1963 pernah menceritakan kegusaran Bung Karno perusahaan-perusahaan asing yang mengelola pertambangan dtidak menjadikan Indonesia sekadar eksportir bahan baku. tidak mendapatkan tanggapan yang memadai.
Bung Karno menyatakan: kalau putra-putri Indonesia belum mampu mengolah sendiri kekayaan alam tambang-tambang kita, biarkan tetap tersimpan di dalam bumi Ibu Pertiwi. Kita tunggu sampai anak cucu kita nanti mampu mengolahnya sendiri." Cerita Rooseno selama dua menit, 52 tahun yang lalu itu, mengendap kuat di dalam alam pikir mahasiswa Sipil ITB dan mewarnai sikap politik ideologi mahasiswa pendengarnya (2).
Pada 5 Mei 1964, akhir sepuluh orang mahasiswa yang tersangkut dalam Peristiwa 10 Mei di Bandung, Selasa 5 Mei lalu oleh tiga jaksa Pengadilan Negeri Bandung telah dituntut hukuman antara 3 dan 7 tahun penjara segera masuk.
Jaksa R Djoko Muljo dalam tuntutannya terhadap DK (Deddy Krishna) seorang mahasiswa Kimia Teknik ITB menyatakan DK bersalah telah melakukan pembakaran kendaraan bermotor, perusak kaca-kaca toko di Jalan Umum Kota Bandung, yang menimbulkan kerugian ratusan juta rupiah.
Hal ini menimbulkan kegemparan dunia internasional karena peristiwa ini menjalar ke kota-kota lainnya di seluruh Jawa Barat bersama-sama telah menyatakan bahwa terdakwa dalam tuduhan selanjutnya melakukan pemukulan terhadap mahasiswa Tionghoa di Kompleks ITB, serta dilakukan kegiatan politik dan mengadakan rapat-rapat gelap tanpa melaporkan terlebih dahulu kepada pihak yang berwajib,