Kerusuhan rasial pada 10 Mei 1963 di kota Bandung, diikuti kerusuhan lain di Sumedang pada 11 Mei 1963, Bogor pada15 Mei 1963, serta Sukabumi pada18 dan 19 Mei 1963 dan juga terjadi di Cianjur, Garut (17 Mei) dan Tasikmalaya merupakan peristiwa penting sepanjang sejarah kota Bandung.
Kerusuhan rasial 10 Mei 1963 dimulai dengan perkelahian di kampus ITB dan akhirnya menjalar menjadi keursuhan massa. Sekitar 500 toko dan rumah mengalami kerusakan. Selain 65 buah mobil, 54 sepeda motor, 5 mesin jahit dan sejumlah barang elektronik, seperti radio, televisi, lemari es dibakar atau rusak.
Di antara mobil-mobil yang terbakar terdapat tiga buah Mercedes, sebuah Impala dan tujuh buah Fiat, pada masa itu tergolong mobil mewah. Di antara sepeda motor yang menjadi rongsokan tergolong mahal seperti Suzuki, Honda, Vespa dan BMW. Peristiwa 10 Mei 1963 sudah pernah saya tulis di Kompasiana dan linknya ada di bawah tulisan.
Timbul tanda tanya mengapa kerusuhan begitu besar dan menjalar ke berbagai kota yang sebetulnya penyebabnya bisa diraba, tidak diantisipasi oleh pemerintah dan aparat keamanan.
Padahal sudah ada kerusuhan pendahuluan pada Rabu, 27 Maret 1963 di Cirebon,di mana jelas disebutkan perkelahian berdarah antara dua rombongan pemuda yang umumnya pelajar.
Perkelahian itu menyebabkan dua orang luka berat dan dua luka ringan. Kerusakan berupa tiga mobil dan sejumlah toko dan rumah milik orang Tionghoa di Lemahwungkuk dan berapa tempat lainnya.
Dandim 0614, Kepala Kepolisian kota Cirebon, hingga Wali Kota Cirebon mengumumkan penyesalannya. Bahkan Wagub Astrawinata mengeluarkan pernyataan ketika berkunjung ke Cirebon: angin panas yang menyakitkan telah bertukar dengan angin yang sejak," ujar Astrawinata dikutip Pikiran Rakjat, 9 April 1963.
Sekalipun Astrawinata bisa jadi benar ketika menyatakan pemisahan golongan Tionghoa dan WNI akibat kebijakan kolonialisme Belanda dulu.
Namun sebetulnya pemicu lain adalah tekanan hidup yang dirasakan sebagian besar masyarakat masa itu. Pada akhir Maret 1963 menurut Pikiran Rakjat edisi 30 Maret biaya hidup begitu tinggi, untuk menutupi ongkos hidup seorang buruh dengan seorang istri dan dua anak harus berpenghasilan Rp12.263 per bulan. Hal yang mustahil terpenuhi.
Profesi lainnya juga mengajukan keluhannya. Pada akhir April 1963 sekitar lima ribu guru di Kotapraja Bandung melalui juru bicaranya Basjumi mendesak pemerintah menurunkan harga beras. Namun kenyataannya harga beras tetap tinggi bahkan hingga September 1963 menyentuh Rp90-100 per kilogram. Bahkan Bandung tidak lagi menerima beras pada bulan itu.
Kejadian di Cianjur pada 19 Mei 1963 mulai siang hingga malam merupakan kawasan terakhir yang dilanda kerusuhan rasial. Padahal Cianjur berdekatan dengan Sukabumi. Efek domino ini tidak diantisipasi dengan baik. Puluhan toko-toko dan kendaraan milik golongan Tionghoa di Cianjur menjadi sasaran.