Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

"Keluarga Cemara", Zaman Now pun Harta Berharga Tetap Keluarga

Diperbarui: 6 Januari 2019   11:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adegan dalam film (Foto: Kapanlagi)

Empat ABG cewek melakukan dance energik dan ciamik  di atas panggung diiringi musik hingar bingar.  Aksi mereka memukau ratusan penonton yang memenuhi gedung pertunjukkan.  Di antara  para penonton terdapat seorang ibu dan seorang  anak perempuan tujuh tahun, Ara:  berteriak nyaring  menyebut nama teteh Euis, salah seorang dari empat  ABG itu dan menyemangatinya.

Euis  (Zara JKT 48) dan kawan-kawannya menyabet juara  I  Jakarta Dance Competition ke 6. Namun dia kecewa melihat bangku kosong, Abahnya tidak datang  menyaksikan pertunjukkannya.

Opening scene dari film Keluarga Cemara sekaligus juga  intro kepada penonton bahwa ini Keluarga Cemara "Zaman Now".   Film yang disutradarai  oleh Yandy Laurens itu diangkat dari sinetron tahun 1990-an bertajuk sama karya Arsewendo Atmowiloto.  Tentunya dengan intepretasi baru.

Sukar membayangkan bahwa keluarga Abah, Emak dan  tiga anak perempuannya  kondisi 1990-an sama bersahajanya dengan  era sekarang. Becak  saja yang jadi ikon Abahnya,  Arsewendo  Atmowiloto baik versi  cerpen serial  maupun sinetron sudah langka pada  era sekarang.

Selain  itu  "zaman now," meminjam istilah  anak era milenial, buruh pun sudah lazim pakai ponsel cerdas karena sudah terjangkau. Itu baru gaya hidup secara fisik, belum lagi soal perempuan sosial dan ekonomi dan aspek lain.

Abah (Ringgo Agus Rahman) adalah seorang kontraktor yang awalnya mapan, punya rumah mewah dan sebuah mobil. Setiap pagi Abah mengantarkan kedua anaknya Euis dan Ara (Widuri  Sasono) dan Emak (Nirina Zubir)  dengan salam yang khas dan kocak.  Sayang karena kesibukan pekerjaannya,  Abah kerap abai hadir di kegiatan penting anak sulungnya Euis.  Bukan hal aneh bagi keluarga kelas menengah.

Roda berputar seratus delapan puluh derajat.  Abah bangkrut, karena kesalahan bisnis yang dilakukan rekan kerjanya.  Rumah  dan mobilnya disita.  Abah  membawa keluarganya  pindah ke rumah warisan orangtuanya di pedalaman Bogor.  Euis  dan Ara  harus pindah dari sekolah mahal ke  sekolah negeri.

 Perubahan habitat  kehidupan tidak membuat  Ara kehilangan keceriaannya, malah dia asyik dengan aktivitasnya  di kegiatan teater sebagai pohon cemara.  Tetapi berbeda dengan Euis yang lebih biasa hidup mapan. Saya suka dengan adegan betapa canggungnya Euis ketika masuk kelas di mana perilaku muridnya berbeda dengan sekolahnya di Jakarta, hingga harus menjual opak  mencari penghasilan tambahan buat keluarganya.

 Sementara Abah menjadi buruh bangunan  untuk menyambung hidup keluarganya. Sampai suatu ketika ia mengalami kecelakaan.  Di rumah itu ada becak peninggalan keluarganya. Becak  itu hanya sebagai perabot dan hanya digunakan untuk hiburan.  Dalam satu adegan becak itu digunakan seorang saudara Abah untuk membawa  Emak yang akan melahirkan Agil.

Berbeda dengan versi  sinetronnya  Abah tidak menjadi tukang becak, tetapi tukang ojek daring. Ini  Abah  zaman now. Intepretasi yang bagus.

Bagaimana perjuangan keluarga  ini melalui semua cobaan tidak jauh  beda dengan versi sinetronnya.  Pesan  yang saya  tangkap zaman boleh  berubah dengan kemajuan teknologinya, yang kerap membuat asing  antar anggota keluarga.  Kehidupan  bisa berubah drastis secara  ekonomi,    tetapi harta  yang paling  berharga adalah keluarga,  seperti lirik dalam soundtrack film ini dan juga sinetronnya.     

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline