Berawal dari Kampus
Jumat pagi, 10 Mei 1963 terjadi bentrokan fisik antara mahasiswa pribumi dan mahasiswa Tionghoa di kampus Institut Teknologi Bandung. Kampus yang dipandang sebagai ikon pendidikan di kota kembang itu juga sekaligus dalam sejarah pendidikan Indonesia menjadi tempat pemicu sebuah kerusuhan yang besar.
Pikiran Rakjat edisi Sabtu, 11 Mei 1963 menceritakan bahwa sekitar pukul 8 pagi rombongan mahasiswa dan pelajar dan didukung masyarakat bergerak dari Kampus ITB.
Massa ini mulai memasuki dan merusak toko-toko dan rumah, termasuk kendaraan bermotor milik orang Tionghoa yang berada di jalan-jalan yang dilewatinya, seperti Jalan Dago, Jalan Merdeka, Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga.
Setelah menimbulkan kerusakan di jalan-jalan rombongan ini membagi diri menjadi tiga kelompok. Rombongan pertama dan kedua pergi ke Jalan Banceui dan Jalan Dalem Kaum.
Di dua tempat ini sebanyak 13 mobil dibakar. Kemudian rombongan yang melalui Jalan Alketeri, Jalan Banceui dan Jalan Suniaraja melanjutkan perjalanan ke Gubernuran sambil merusak toko-toko serta membakar beberapa buah mobil.
Rombongan lain ke Jalan Raya Barat bergerak ke Jalan Klenteng, Jalan Kebon Jati, Stasiun dan Pasirkaliki, Ksatriaan, terus ke Jalan Padjadjaran, Jalan Purnawarman, Jalan Riau dan Jalan Trunodojojo, Jalan Tirtayasa, Gempol, Dipati Ukur dan Universitas Padjadjaran.
Sementara rombongan dari Dalem Kaum bergerak ke Balonggede, Jalan Oto Iskandar Di Nata, Kalipa, Apo dan terus ke Tegallega. Kelompok ini berhenti jam 14.00, tetapi pada pukul 15.00 muncul lagi di Jalan Suniaraja melakukan pelemparan dan perusakan pada toko-toko di Jalan Banceui dan Jalan Naripan.
Gerakan massa juga terjadi di Karang Setra dan Jalan Setiabudhi. Di dua tempat itu terjadi pembakaran terhadap mobil-mobil yang dianggap milik orang Tionghoa.
Di Jalan Dago jatuh dua orang korban, ketika petugas melepaskan tembakan peringatan hingga mengenai kawat listrik hingga putus dan mengenai massa. Akibatnya dua orang dari massa tewas terkena sengatan listrik.
Pada pukul 15.00 keadaan mulai tenang ketika Batalion Kujang II dikerahkan melakukan pengamanan. Tentara didukung Brigade Mobil dan satuan perintis. Gubernur Jawa Barat Mashuri mengumumkan perlakuan jam malam, mulai pukul 21:00-06.00 pagi keesokan harinya 11 Mei 1963. Gubernur meminta orang Tionghoa tetap tenang dan meminta maaf kepada mereka yang menjadi korban.