Pekan terakhir April 1961 para penggemar rokok putih di Kota Bandung harus menahan keinginannya. Rokok putih bermerek Escort, Comodore dan Lancer menjadi sukar didapatkan. Kalau pun mereka menemukannya di pasar, maka harganya meningkat dari biasanya.
Rokok merek Escort minggu lalu sebungkusnya Rp9 naik menjadi Rp10. Rokok Comodore melonjak paling tinggi dari Rp10 menjadi Rp15. Sebetulnya kejadian ini sudah kedua kalinya karena pada Oktober 1958, para pecandu rokok putih juga mengalami situasi ini.
Mereka tahu bahwa seperti pada tiga tahun sebelumnya, para penjual rokok menyebut, alokasi berkurang. Pikiran Rakyat, 26 April 1961 mengutip pengakuan pedagang rokok, ada di antara mereka yang hanya menerima tiga slof rokok.
Sebetulnya soal menghilangnya rokok putih persoalan golongan menengah atas. Lain halnya kalau gula kembali menjadi langka. Awal Mei 1961 warga kota Bandung mengalami kesukaran mendapatkan gula pasir. Kejadian yang juga berulang kali dan mengingatkan pada akhir 1950-an.
Warga Bandung kalau pun mendapatkan gula, harus merogoh kocek di atas Rp10 per kilogram. Padahal pemerintah sudah menetapkan plafon tertinggi antara Rp8 per kilogram. Pada pemilik warung mengaku harus mendapatkan persetujuan dari wedana untuk mendapatkan alokasi gula.
Hanya saja penyebabnya berbeda dibandingkan kejadian akhir 1950-an lebih karena ulah spekulan. Pada awal 1960-an kelangkaan gula berakar pada panen tebu yang terlambat. Pada awal Mei itu juga Pusat Koperasi Kota Bandung menyiapkan 129 toko untuk melayani warga kota, termasuk gula.
Beberapa Pemerintah Daerah Tingkat II di Jawa Barat mempertegas kebijakan itu. Pada pertengahan Juni 1961, Bupati Bandung Mayor Memed Ardwilaga meminta agar gula dan semen untuk konsumsi rakyat diserahkan kepada Pusat Koperasi Kabupaten Bandung (PPKB).
Sekretaris Pusat Koperasi Bandung M Akil mengatakan, mereka melaksanakan Peraturan Pemerintah Nomor 104/1961 tentang penyaluran 9 bahan pokok, yang menetapkan melalui koperasi.
Untuk membicarakan masalah kelangkana gula di Jawa Barat, Persatuan Pedagang Gula Indonesia (PDGI) Jawa Barat mengadakan konferensi singkat di Penanjung, Pangandaran pada 3 dan 4 Juni 1961. Konferensi itu dihdari 45 pedagang gula dengan semangat ampera dan dihadiri Komandan Korem Priangan Timur Letkol R Djohari.
Konferensi itu mengungkapkan, Indonesia saat itu membutuhkan 840 ribu ton gula gula, sementara produksi dalam negeri hanya mencapai 680 ribu ton. Sebelum Perang Dunia ke II Indonesia memberikan konstribusi produksi gula dunia sebesar 12,5% , namun pada 1960-an melorot menjadi 7 persen. Itu artinya perlu peningkatan produksi. Masalahnya hanya ada 45 pabrik gula seluruh Indonesia.
Persoalan kelangkaan semen masih juga belum diatasi. Kenaikan harga semen menyebabkan biaya pembangunan juga membengkak. Misalnya saja pembangunan stasiun otobus di Mohammad Toha estimasi awalnya pada April 1959 Rp3.250.000. Pada Desember 1959 naik menjadi Rp4.200.000. Namun pertengahan 1961 membengkak menjadi Rp 5.740.000, hampir dua kali lipat dari estimasi semula.