Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Masyarakat Jakarta 1950-an dalam Cerpen M. Husseyn Umar

Diperbarui: 24 September 2017   15:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kumpulan Cerpen. Dokumentasi pribadi

Bagi saya ada beberapa hal menarik dari sejarah Indonesia 1950-an (hingga awal 1960-an) menjadi salah satu minat saya dalam kajian sejarah. Secara emosional periode ini menjadi "dekat" dengan saya karena saya dekat dengan ibu saya yang kerap bercerita tentang masa kecil dan remaja awalnya di era, terutama kehidupan Jakarta dan Bandung.

Beberapa cerita Ibu saya tentang Santa Ursula di Lapangan Banteng dan Apotek Maya di Bandung pernah saya tulis di Kompasiana. Singkatnya walaupun kehidupan ekonomi susah, masyarakat masih harmonis, santun dan hidup di Jakarta dan Bandung masih nyaman, relatif aman dan sehat.

Cerita tentang gerombolan hanya membuat warga takut melalui daerah tertentu.  Saya pernah bertanya pada warga Jakarta atau Bandung atau yang hidup masa itu menyebut mereka lebih takut kalau Gunung Tangkubanparahu atau Gunung Gede meletus.

Daya tarik lain periode 1950-an  sebagai negara yang baru merdeka, di satu sisi rasa nasionalisme sangat tinggi, mencintai budaya dan kesenian nasional, tetapi di satu sisi bagi remaja dan kaum muda yang mulai mudah mendapat akses pendidikan menengah hingga perguruan tinggi, "pop art" terutama film Hollywood masuk. 

Kalau Anda menonton film "Tiga Dara" itu adalah awal hibrida antara kultur Barat dan kultur Timur Indonesia. Dansa,  berdandan gaya Elvis Presley, hingar musik rock n roll menjadi tren remaja urban, sekalipun pergaulan mereka umumnya masih memegang teguh norma timur. Tampaknya  (sebagian) remaja urban waktu itu tidak ambil pusing dengan soal "gonta-ganti" kabinet , konflik elite politik.

Pada 2001 saya pertama kali membaca buku  kumpulan cerpen dari satrawan M. Hussyen Umar "Selendang Merah" (terbitan Jakarta, Gramedia, 2000) memperkaya gambaran saya tentang situasi negeri ini masa Demokrasi Liberal itu.  Kelahiran Medan, 21 Januari 1931 ini menulis puisi, cerpen dan ulasan sastra yang dimuat di Mimbar Indonesia, Siasat, Gelanggang dan media lain. Saya membahas berapa cerpennya untuk membahas konteks sosial kaum urban masa itu.  

Masuknya Gaya Hidup Barat

Salah satu cerpennya "Kalau Anak-anakku Pulang Pakansi" (ditulis pada 1954) paling menarik perhatian saya. Tokoh utamanya seorang bapak tinggal bersama isterinya di Sumatera Barat. Enam dari sepuluh anaknya perpencar di sekolah yang berbeda tiga di Jakarta, seorang di Yogyakarta dan dua bersekolah di Bukitinggi.

Setahun sekali mereka pulang kalau menghadapi liburan besar dan inilah pakansi. Realitas masa itu sudah tertangkap sejak awal, pendidikan menengah dan perguruan tinggi masih di Jawa, mereka tingga indekost. Untuk membiayai sekolah dan hidup sehari-hari Sang Bapak gali lobang tutup lobang.

Tetapi alangkah terkejutnya Sang Ibu, isteri dari tokoh utamanya bahwa salah seorang anaknya bernama Tjal ternyata menggunakan ongkos pulang yang dikirimnya untuk tamasya ke Bali. Pada waktu itu tamasya ke Bali hal yang eksotis. Dia tidak ikut pulang dalam pakansi tahun itu.

Ada hal lainnya, seorang anaknya duduk di perguruan tinggi bernama Win dalam dialog dengan ibu dan ayahnya menggambarkan betapa kuatnya pengaruh westernisasi pada anak kuliah. Win minta dibelikan stelan jas "Black and White" seharga Rp900 (tinggi masa itu ratusan kali harga satu 1 kg beras), ditambah sepasang sepatu Barrat, kemaja Arrow, hingga gitar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline