Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Apakah Ritel Korban Berikutnya Dunia Digital?

Diperbarui: 18 September 2017   13:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi (shutterstock)

Kemarin salah seorang kawan  saya di grup WhatsApp komunitas Truedee (penggemar penulis Dewi Lestari) memposting berita dari sebuah situs, intinya  Matahari sebuah grup ritel  akan menutup  gerai Pasaraya Manggarai dan Blok M pada akhir September ini. Sebelumnya grup ritel lainnya Ramayana juga dikabarkan menutup sejumlah gerainya.   

Tentu saja kabar ini mengejutkan dan mengusik rasa  ingin tahu saya.  Kemudian saya mengunduh sejumlah situs berita.  Menurut  seorang pengamat Pasar Modal, Hans Kwee, analis dari Investa Saran Mandiri,  pelaku industri ritel  saat ini mendapatkan tantangan selain dari  sesama  pemain industri ritel juga dari industri ritel online [1].

Dengan berbelanja online, konsumen lebih selektif membelanjakan uangnya, hemat dari segi waktu dan tidak mengeluarkan biaya ke pusat perbelanjaan, terutama konsumen ibu rumah tangga. Harganya juga bisa lebih ekonomis. 

Masih terlalu pagi untuk memastikan apakah bisnis ritel akan rontok menyusul media cetak karena munculnya media sosial, merosotnya penghasilan sopir taksi dan angkot karena keberadaan ojek dan taksi daring, seperti efek domino dunia digital.

Ataukah ada sebab lain seperti bisnis ritel memang lesu karena berkurangnya daya beli dengan kata lain behrubungan dengan pertumbuhan ekonomi?  Perubahan strategi manjamen bisnis retail?  masih harus ditunggu dan juga ditunggu bagaimana sikap pemerintah.  

Hanya saja kalau benar bisnis retail rontok maka  membawa efek yang lebih besar: PHK dan bertambahnya pengangguran. Ini yang saya khawatirkan.

Ketua Umum Hippindo (Himpunan Penyewa Pusat Belanjda Indonesia) Budihardjo Iduansjah menuding adanya ketidakadilan dalam hal persaingan antara toko online dan toko offline. Dia menyebutkan bahwa bisnis retail online bisa menjual lebih murah karena tidak perlu menyewa tempat di mal, tidak perlu membayar gaji karyawan, hingga pajak reklame  [2].

Ekonomi Digital

Pada sisi lain kebangkitan ekonomi digital membantu pelaku UKM yang mempunyai omzet antara Rp300 juta hingga Rp2,5 miliar per tahun, dengan karyawan hanya 1 hingga 5 orang. Menurut Chief Lembaga Riset Telematika Sharing Vision, Dimitri Mahayana selain soal  marketplace, UKM online bermitra dengan transportasi online dan aplikasi pembayaran digital [3}.

Itu sebabnya di sisi lain  keputusan Mahkamah Agung (MA) mencabut 14 poin dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak Dalam Trayek menguntungkan pelaku ekonomi UKM kerakyatan.

Menurut Ekonom Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastadi  pemerintah sejak awal memang seharusnya tidak memandang persoalan transportasi daring hanya dari satu sudut pandang yakni transportasi saja.  Fithra menyebut  merchant-merchant UKM yang sebelumnya kesulitan menjangkau pasar kini menjadi terintegrasi [4].

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline